Di tengah dunia yang semakin inklusif dan kritis terhadap standar kecantikan yang sempit, ajang pemilihan duta daerah seperti Abang None Jakarta (Abnon) kerap dipertanyakan relevansinya di tahun 2025.
Namun, menurut sosiolog Universitas Indonesia, Devi Rahmawati, kritik terhadap tampilan luar tak bisa serta-merta menafikan potensi transformatif ajang ini—terutama dalam membentuk keterampilan komunikasi, representasi budaya, dan kepemimpinan sosial anak muda di era digital.
Faktanya, generasi Z, meskipun tumbuh sebagai digital native dan dianggap sebagai generasi paling terdidik, justru menghadapi tantangan besar dalam dunia kerja. “Mereka kerap kekurangan soft skills penting seperti komunikasi interpersonal, empati, kemampuan mendengar aktif, dan kerja sama tim,” ungkap Devi Rahmawati.
Devi juga menyitir, British Council (2024) yang mencatat bahwa keterampilan komunikasi adalah critical gap terbesar antara ekspektasi industri dan kemampuan lulusan muda saat ini. Forbes (2024) menegaskan bahwa kemampuan komunikasi tatap muka merupakan keterampilan paling menentukan keberhasilan jangka panjang Gen Z—dan ini tidak bisa diasah hanya melalui teknologi. Dalam konteks inilah, ajang seperti Abnon menjadi semakin relevan.
Kemenangan Ahmad Kabir sebagai Abang Favorit Jakarta Selatan 2025 misalnya, bukan hanya karena penampilannya di atas panggung. Ia dikenal sebagai penerima empat beasiswa internasional dan aktif mengkampanyekan literasi digital untuk remaja.
“Saya ikut Abnon bukan karena ingin terkenal, tapi karena ingin memperkenalkan kampanye keamanan digital kepada masyarakat urban,” ujar Kabir.
Abnon 2025 juga menegaskan nilai keberagaman, menghadirkan finalis dari berbagai suku dan latar profesi.
Ini bukan lagi sekadar ajang mencari sosok ‘cantik dan ganteng’, tetapi lebih pada pencarian individu dengan kepedulian sosial, kemampuan komunikasi, dan visi jangka panjang.
“Yang mereka tampilkan bukan hanya paras, tapi ide, karakter, dan kontribusi yang nyata,” ujar Noviana Purnamasari, Juara Harapan II Abnon 1995 yang kemudian aktif di dunia perbankan sepanjang 18 tahun.
Menurut Devi Rahmawati, ajang Abnon berperan sebagai ruang pelatihan publik yang experiential, yang memberikan tantangan nyata dalam membangun komunikasi lisan, diplomasi budaya, empati sosial, dan kepercayaan diri.
“Tidak sekadar parade penampilan, ajang ini adalah simulasi dunia kerja nyata—di mana peserta mempresentasikan gagasan, berbicara di depan umum, bekerja dalam tim, serta menjawab pertanyaan kritis dari juri dan publik,” jelasnya.
Format pelatihan seperti ini sejalan dengan pendekatan experiential learning dan project-based collaboration, yang menurut berbagai studi merupakan metode pembelajaran paling efektif untuk generasi Z.
Studi tahun 2022 tentang ajang Miss Universe pun menunjukkan bahwa kontes kecantikan modern telah bertransformasi menjadi platform advokasi isu-isu sosial, seperti kesehatan mental, kekerasan gender, dan inklusi rasial—topik-topik yang juga sangat relevan bagi generasi muda saat ini.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah Abnon masih penting atau tidak”, melainkan bagaimana ajang ini terus membuat dirinya penting.
Selama terus berevolusi dengan nilai-nilai inklusif, non-diskriminatif, dan berbasis misi sosial-budaya yang jelas, Abnon bisa menjadi jembatan antara kecakapan digital dan keterlibatan sosial nyata—dua hal yang sangat dibutuhkan oleh generasi masa kini dan masa depan.
Abnon bukan peninggalan masa lalu, tetapi investasi karakter untuk masa depan XPOSEINDONESIA/NS Foto : Ade Rahardjo