
Kota Jakarta, ibu kota Indonesia, telah dianugerahi gelar Kota Sastra Dunia oleh UNESCO pada 8 November 2021. Namun, pertanyaan mengenai sejauh mana status prestisius ini telah dihidupi dan diimplementasikan secara serius menjadi fokus dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Teater Wahyu Sihombong Taman Ismail Marzuki (TIM) pada malam Kamis (23/5/2024).
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menginisiasi acara bertajuk “Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi?” dengan tujuan menggali lebih dalam tentang pencapaian Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia dan dampaknya terhadap industri sastra lokal.
Narasumber terkemuka termasuk Laura Prinsloo Bangun, Focal Point Jakarta City of Literature, dan Alex Sihar dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI) diundang untuk memberikan wawasan dan pemikiran mereka.
Laura Prinsloo Bangun, dalam paparannya, membahas proses seleksi Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia oleh UNESCO serta manfaat yang telah diperoleh kota ini sejak dianugerahi status tersebut. Dia menyoroti signifikansi akses ke pameran buku internasional dan perkembangan industri sastra di Jakarta sebagai hasil dari status ini.
Sementara itu, Alex Sihar mengambil pendekatan yang lebih luas. Ia menekankan pentingnya integrasi penetapan Kota Sastra Dunia ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk memastikan partisipasi yang lebih luas dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat Jakarta sendiri, dalam memajukan industri sastra.
Alex menyoroti bahwa yang menjadi stakeholder bukan hanya penerbit atau sastrawan, melainkan seluruh warga Jakarta. Ia berpendapat bahwa melibatkan lebih banyak institusi seperti artusan RPTRA di Jakarta dan ribuan sekolah akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam program-program yang menyangkut Jakarta City of Literature.
Alex juga menekankan perlunya adanya dukungan yang konkret dalam RPJM, sehingga pendanaan dan program-program yang dijalankan dapat terukur dan ada target-target yang harus dicapai dalam penobatan Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia.
Sesi tanya jawab membawa banyak diskusi menarik, termasuk pertanyaan tentang alasan pemilihan Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia, sementara kota-kota lain dengan tradisi sastra yang kaya seperti Padang Panjang atau Banda Aceh tidak terpilih. Pengelola Graha Bhakti Budaya TIM juga diberi sorotan karena kebijakan sewa yang dianggap terlalu tinggi bagi pelaku sastra lokal.
Laura Prinsloo Bangun merespons kritik tersebut dengan menegaskan bahwa meskipun industri sastra lokal mungkin belum berkembang pesat, status Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia memiliki nilai penting sebagai pegangan untuk memacu perkembangan industri tersebut.
Alex Sihar menambahkan bahwa perlu fokus dari semua pihak untuk memasukkan aspek kebudayaan, sastra, dan penerbitan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, sehingga setiap program memiliki landasan hukum yang kuat dan dukungan yang berkelanjutan.
Diskusi ini tidak hanya mengevaluasi pencapaian Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran penting sastra dalam identitas kebangsaan dan ekspresi kebudayaan. Dengan membahas isu-isu yang kompleks dan mendalam, diskusi ini menjadi panggung penting dalam merumuskan langkah-langkah konkrit untuk memajukan status Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia yang hidup dan berdampak. XPOSEINDONESIA / Ihsan