Pada akhirnya memang terjadilah! Guruh Gypsi seperti menuliskan buku kedua. Buku pertama yang secara ide lahir pada tahun 1975, menjadi tonggak penting Musik Indonesia — gagah, berjiwa Nusantara, tegas, dan magis. Sebuah karya yang mengangkat kebanggaan terhadap bangsa dan tanah air, dengan komposisi yang sarat kritik sosial, kritik budaya, serta cinta tanah air. Lagu-lagu mereka menggugah kesadaran akan kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan seni dan budaya adi luhung. Bahkan, beberapa lagu menggunakan Bahasa Bali sebagai pilihan narasi.
Selain itu, Guruh Gypsi juga menyandingkan elemen musik Barat dengan musik tradisi Nusantara. Warna progressive rock (atau art-rock kala itu) berpadu dengan nuansa musik tradisi Bali. Mereka menggandeng kelompok Gamelan Bali dari Lembaga Kesenian Bali Saraswati yang dipimpin I Gusti Kompiang Raka. Tidak hanya Bali, elemen bunyi tradisi Jawa dan Sunda juga disisipkan, menghasilkan kombinasi musikal yang eksotik dan unik.
Penampilan Panggung yang Paling Dirindukan
Sekitar tiga bulan sebelum tampil, diskusi intensif dilakukan antara tiga anggota Guruh Gypsi. Guruh Sukarnoputra menegaskan kembali aksentuasi warna tradisi, Keenan Nasution memperkuat fondasi musikal berdasarkan versi orisinal album 1977, sementara Abadi Soesman memberi sentuhan rock yang mempertebal jiwa musik Guruh Gypsi. Mereka menciptakan aransemen baru yang tetap setia pada semangat aslinya — dirancang khusus untuk penampilan perdana di Synchronize Festival 2025.
Mereka benar-benar “menulis buku kedua”. Semua ide kreatif dari 50 tahun silam kini diwujudkan di atas panggung. Ada sedikit penyesuaian dalam aransemen agar sesuai dengan format musik masa kini, tanpa mengubah esensi khas Guruh Gypsi.
Sebagian orang sempat berpendapat bahwa musiknya sedikit bergeser dari orisinalitas tahun 1975–1977. Namun sesungguhnya, perubahan itu dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan ensemble modern. Formasi lengkapnya luar biasa: tiga kibordis, dua bahkan hingga tiga drummer — salah satunya menggunakan Simmons drums khas era 1980-an — ditambah empat pemain tiup, satu violinis, dan dua gitaris.
Pihak Synchronize sejak awal mengingatkan bahwa penonton pasti merindukan warna yang mendekati aslinya. Keenan, Abadi, dan Guruh memegang erat pesan itu. Hingga akhirnya, pada Sabtu malam, 4 Oktober, Guruh Gypsi tampil untuk pertama kalinya di atas panggung — sebuah momen yang menjadi salah satu sesi paling dirindukan dalam sejarah musik tanah air.
Penampilan ini dikemas dengan apik oleh sutradara panggung Taba Sanchabahtiar bersama timnya, sementara sisi produksi suara ditangani Harry Suhardiman. Hasilnya, sebuah pertunjukan megah dan penuh ruh sejarah.
Dari “Barong Gundah” hingga “Indonesia Maharddhika”
Pertunjukan dibuka dengan lagu instrumental “Barong Gundah”, lengkap dengan penari Barong di atas panggung. Suasana east meets west langsung terasa — musik barat bertemu magisnya tradisi timur. Penonton pun memberi sambutan luar biasa hangat, seolah tersihir oleh suasana sakral yang tercipta.
Lagu kedua, “Smaradhana”, menjadi momen manis ketika dinyanyikan oleh Daryl Nasution, putra Keenan Nasution. Penonton bernyanyi bersama, sebagian besar hafal lirik lagu yang dulu dipopulerkan almarhum Chrisye.
Berlanjut ke “Janger 1897 Saka”, dengan Daryl tetap sebagai vokalis utama, kali ini berduet bersama sang ayah yang membawakan bagian berbahasa Bali. Energi panggung semakin panas, sorak penonton pecah, beberapa bahkan berloncatan kegirangan.
Lagu “Chopin Larung” kemudian dibawakan oleh Andy /rif bersama Keenan Nasution. Lagu bernuansa kritik budaya ini semakin hidup dengan tambahan koreografi dari para penari GSP.
Berikutnya, “Geger Gelgel” mengguncang panggung dengan arak-arakan penari dan barisan marching band, menciptakan nuansa patriotik yang kuat.
Dan akhirnya, puncak penampilan pun tiba — “Indonesia Maharddhika”, anthem rock yang gagah dan menggugah semangat nasionalisme. Keenan Nasution memimpin vokal, sementara Abadi Soesman mempersembahkan solo keyboard memukau. Ketiga drummer tampil bersamaan dalam sesi solo yang megah. Banyak penonton terlihat menitikkan air mata haru — menyaksikan Guruh Gypsi tampil langsung di panggung, setelah 50 tahun hanya hidup dalam legenda.
Pada akhirnya, semesta seolah memberi restu bagi Guruh Gypsi untuk menorehkan bab baru dalam sejarah musik Indonesia. Mereka menulis “buku kedua” — karya yang berakar pada ide dan semangat 50 tahun silam, namun dihidupkan kembali dengan rasa cinta tanah air yang tetap menyala.
Banggalah untuk selalu menjadi Indonesia. Merdeka!
Pada Akhirnya, Tampil Perdana Setelah 50 Tahun!
Pada akhirnya memang terjadilah! Guruh Gypsi seperti menuliskan buku kedua. Buku pertama yang secara ide lahir pada tahun 1975, menjadi tonggak penting Musik Indonesia — gagah, berjiwa Nusantara, tegas, dan magis. Sebuah karya yang mengangkat kebanggaan terhadap bangsa dan tanah air, dengan komposisi yang sarat kritik sosial, kritik budaya, serta cinta tanah air. Lagu-lagu mereka menggugah kesadaran akan kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan seni dan budaya adi luhung. Bahkan, beberapa lagu menggunakan Bahasa Bali sebagai pilihan narasi.
Selain itu, Guruh Gypsi juga menyandingkan elemen musik Barat dengan musik tradisi Nusantara. Warna progressive rock (atau art-rock kala itu) berpadu dengan nuansa musik tradisi Bali. Mereka menggandeng kelompok Gamelan Bali dari Lembaga Kesenian Bali Saraswati yang dipimpin I Gusti Kompiang Raka. Tidak hanya Bali, elemen bunyi tradisi Jawa dan Sunda juga disisipkan, menghasilkan kombinasi musikal yang eksotik dan unik.
Penampilan Panggung yang Paling Dirindukan
Sekitar tiga bulan sebelum tampil, diskusi intensif dilakukan antara tiga anggota Guruh Gypsi. Guruh Sukarnoputra menegaskan kembali aksentuasi warna tradisi, Keenan Nasution memperkuat fondasi musikal berdasarkan versi orisinal album 1977, sementara Abadi Soesman memberi sentuhan rock yang mempertebal jiwa musik Guruh Gypsi. Mereka menciptakan aransemen baru yang tetap setia pada semangat aslinya — dirancang khusus untuk penampilan perdana di Synchronize Festival 2025.
Mereka benar-benar “menulis buku kedua”. Semua ide kreatif dari 50 tahun silam kini diwujudkan di atas panggung. Ada sedikit penyesuaian dalam aransemen agar sesuai dengan format musik masa kini, tanpa mengubah esensi khas Guruh Gypsi.
Sebagian orang sempat berpendapat bahwa musiknya sedikit bergeser dari orisinalitas tahun 1975–1977. Namun sesungguhnya, perubahan itu dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan ensemble modern. Formasi lengkapnya luar biasa: tiga kibordis, dua bahkan hingga tiga drummer — salah satunya menggunakan Simmons drums khas era 1980-an — ditambah empat pemain tiup, satu violinis, dan dua gitaris.
Pihak Synchronize sejak awal mengingatkan bahwa penonton pasti merindukan warna yang mendekati aslinya. Keenan, Abadi, dan Guruh memegang erat pesan itu. Hingga akhirnya, pada Sabtu malam, 4 Oktober, Guruh Gypsi tampil untuk pertama kalinya di atas panggung — sebuah momen yang menjadi salah satu sesi paling dirindukan dalam sejarah musik tanah air.
Penampilan ini dikemas dengan apik oleh sutradara panggung Taba Sanchabahtiar bersama timnya, sementara sisi produksi suara ditangani Harry Suhardiman. Hasilnya, sebuah pertunjukan megah dan penuh ruh sejarah.
Dari “Barong Gundah” hingga “Indonesia Maharddhika”
Pertunjukan dibuka dengan lagu instrumental “Barong Gundah”, lengkap dengan penari Barong di atas panggung. Suasana east meets west langsung terasa — musik barat bertemu magisnya tradisi timur. Penonton pun memberi sambutan luar biasa hangat, seolah tersihir oleh suasana sakral yang tercipta.
Lagu kedua, “Smaradhana”, menjadi momen manis ketika dinyanyikan oleh Daryl Nasution, putra Keenan Nasution. Penonton bernyanyi bersama, sebagian besar hafal lirik lagu yang dulu dipopulerkan almarhum Chrisye.
Berlanjut ke “Janger 1897 Saka”, dengan Daryl tetap sebagai vokalis utama, kali ini berduet bersama sang ayah yang membawakan bagian berbahasa Bali. Energi panggung semakin panas, sorak penonton pecah, beberapa bahkan berloncatan kegirangan.
Lagu “Chopin Larung” kemudian dibawakan oleh Andy /rif bersama Keenan Nasution. Lagu bernuansa kritik budaya ini semakin hidup dengan tambahan koreografi dari para penari GSP.
Berikutnya, “Geger Gelgel” mengguncang panggung dengan arak-arakan penari dan barisan marching band, menciptakan nuansa patriotik yang kuat.
Dan akhirnya, puncak penampilan pun tiba — “Indonesia Maharddhika”, anthem rock yang gagah dan menggugah semangat nasionalisme. Keenan Nasution memimpin vokal, sementara Abadi Soesman mempersembahkan solo keyboard memukau. Ketiga drummer tampil bersamaan dalam sesi solo yang megah. Banyak penonton terlihat menitikkan air mata haru — menyaksikan Guruh Gypsi tampil langsung di panggung, setelah 50 tahun hanya hidup dalam legenda.
Pada akhirnya, semesta seolah memberi restu bagi Guruh Gypsi untuk menorehkan bab baru dalam sejarah musik Indonesia. Mereka menulis “buku kedua” — karya yang berakar pada ide dan semangat 50 tahun silam, namun dihidupkan kembali dengan rasa cinta tanah air yang tetap menyala.
Banggalah untuk selalu menjadi Indonesia. Merdeka! XPOSEINDONESIA dalpati-danta Foro : Muhamad Ihsan