Sudah 11 tahun Roedyanto Wasito terakhir merilis album solo. Kini, ia kembali hadir lewat For The First Time—sebuah album instrumental berisi 11 lagu yang penuh cerita personal.
“Sejak lama saya ingin bikin lagi album instrumental,” kata Roedyanto membuka cerita. “Waktu 2014 saya merilis Roedy Project, isinya juga instrumental. Jadi ini seperti melanjutkan perjalanan lama saya.”
Judul Lagu yang Dekat dengan Hidup
Uniknya, judul-judul lagu di album ini banyak terinspirasi dari keseharian. Ada “Telor Balado”, makanan favorit yang selalu dimasakkan ibunya sejak kecil. Ada juga “Wako”, nama rumah adat di Papua yang ia temui saat singgah dua hari di sana.
“Musik tradisional Papua yang saya dengar waktu itu masih terngiang sampai sekarang. Jadi saya abadikan dalam lagu,” ujar komposer sekaligus basisst Emerald Band, sambil tersenyum.
Album ini sebenarnya mulai digarap sejak 2020. Tapi karena banyak kegiatan lain—termasuk memproduseri artis muda seperti Anabelle Wiana—prosesnya baru serius dikerjakan pada awal 2025.
“Kalau dibilang molor, iya. Tapi justru itu membuat lagu-lagu di album ini lebih matang,” jelasnya.
Meski seorang bassist, Roedyanto memilih tidak menonjolkan bass. “Konsepnya bukan soal pamer permainan saya. Saya ingin setiap lagu punya ‘tokoh utama’ instrumennya masing-masing,” katanya.
Kolaborasi dan Warna Musik
Dalam beberapa nomor, ia mengajak musisi lain untuk ikut memberi warna. Salah satunya gitaris Morgan Sigarlaki, rekan satu band di Emerald. “Saya sudah siapkan part lagu, tapi untuk bagian improvisasi saya kasih kebebasan. Biar mereka bisa menuangkan imajinasi sendiri,” ujarnya.
Sampul Album yang Bercerita
Album ini juga punya sampul yang spesial. Dilukis manual oleh Amanda Wiana, visualnya menggambarkan festival Samba di Brasil. “Saya kasih kebebasan penuh ke Amanda. Hasilnya, lukisan itu mewakili nuansa lagu For The First Time yang memang ber-genre Samba,” kata Roedyanto.
Musik Tanpa Batas
Menurutnya, membuat musik instrumental punya tantangan tersendiri. “Kalau lagu berlirik, pendengar bisa langsung paham lewat kata-kata. Tapi di instrumental, notasi dan irama yang harus bicara,” ujarnya.
Salah satu contohnya ada di “Noodles from Glodok”. “Lagu ini saya tulis terinspirasi suasana Glodok dengan mie ayam dan baksonya. Musiknya saya kemas dengan nuansa China-Betawi supaya pendengar bisa membayangkan suasana itu,” jelasnya.
Meski melewati era analog hingga era digital sekarang, semangat bermusiknya tak pernah luntur. “Buat saya, musik itu separuh jiwa. Dengan teknologi sekarang malah bikin saya lebih semangat. Musik itu tidak berbatas,” tegasnya.
Disambut Anak Muda
Menariknya, karya Roedyanto justru mendapat banyak respon positif dari generasi muda. “Yang paling banyak mendengar justru usia 18–25 tahun. Mungkin karena saya sering nongkrong sama anak-anak muda juga, jadi ikut update,” katanya sambil tertawa.
Harapan
Di balik semua perjalanan ini, Roedyanto punya harapan sederhana. “Saya ingin musik saya bisa dinikmati siapa saja, dari berbagai usia. Semoga bisa memberi rasa damai dan tenteram buat pendengar,” tutupnya. XPOSEINDONESIA Foto : Dok Pribadi