Kamis, Agustus 28, 2025

Candra Darusman dan Ikang Fawzi Tekankan Transparansi Royalti Musik

Polemik pembagian royalti musik di Indonesia kembali mencuat seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Hak Cipta yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para musisi senior, seperti Candra Darusman dan Ikang Fawzi, menilai pembaruan regulasi dan digitalisasi sistem menjadi langkah penting untuk menciptakan keadilan bagi pencipta, penulis, dan penyanyi.

Penyanyi, Pencipta lagu sekaligus mantan pengawas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Candra Darusman, menekankan bahwa peran LMKN perlu diperkuat agar mampu menjadi pusat koordinasi bagi seluruh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Selama ini, menurutnya, masih ada tumpang tindih di lapangan yang membuat distribusi royalti tidak berjalan maksimal.

“Transformasi digital bisa menjadi solusi dalam mengatasi masalah distribusi royalti. Misalnya, untuk konser, aplikasi digital terbukti meningkatkan pengumpulan royalti hingga tiga kali lipat. Tinggal bagaimana kita sepakati bentuk digitalisasi yang tepat,” ujar Candra saat ditemui di Jakarta di tengah diskusi bertema Isu Royalti Terkni dan ke Depan (27/8).

Pendiri Pusat Studi Ekosistem Musik itu juga menyoroti pentingnya kejelasan regulasi dalam revisi UU Hak Cipta, terutama mengenai siapa pihak yang wajib membayar royalti dan bagaimana sistem penagihan yang diberlakukan.

“Pasal-pasal mengenai musik ini perlu ditambah penjelasannya, agar tidak multitafsir. Selain itu, hak penulis dan pencipta juga harus lebih jelas dilindungi,” tambah Candra.

Meski demikian, Candra melihat adanya perkembangan positif. Ia mencontohkan bahwa sudah ada sekitar 30 ribu tempat usaha di Indonesia yang taat membayar royalti.

Hal ini menurutnya menjadi bukti bahwa kesadaran untuk menghargai karya musik mulai tumbuh.

“Kita harus angkat kabar baik ini, karena jarang sekali disorot. Ini bentuk penghargaan nyata terhadap karya para musisi,” tegasnya.

Senada dengan Candra,  penyanyi rock Ikang Fawzi juga menyoroti persoalan transparansi dan profesionalisme LMK.

Menurut Ikang, banyaknya LMK justru berpotensi menimbulkan masalah karena tidak semua memiliki kapasitas manajerial dan dana yang cukup untuk menjalankan sistem digitalisasi.

“LMK jangan banyak-banyak, kalau bisa satu yang benar-benar kredibel. Digitalisasi itu investasinya besar, tidak semua LMK bisa membiayai. Kalau terlalu banyak, malah membuka peluang bagi pihak yang hanya mencari keuntungan, dan akhirnya pembagian royalti tidak transparan,” jelas pelantun lagu Preman itu.

Ikang menekankan bahwa LMK harus dibangun dengan landasan manajemen yang kuat, pengalaman memadai, serta kesiapan dana. Selain itu, transparansi juga mutlak diperlukan, termasuk kewajiban audit yang bisa dilakukan kapan saja.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa pembahasan revisi UU Hak Cipta akan rampung dalam waktu dua bulan.

DPR bersama para pemangku kepentingan, termasuk artis, pencipta, penyanyi, dan LMK, akan membentuk tim perumus khusus untuk memastikan aturan baru benar-benar menjawab polemik royalti musik.

Dengan adanya revisi regulasi dan dorongan digitalisasi, para musisi berharap sistem pembagian royalti di Indonesia dapat berjalan lebih adil, transparan, dan tepat sasaran. XPOSEINDONESIA/NS

diskusi publik
diskusi publik

Must Read

Related Articles