
Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana bersama Sri Sultan Hamengku Bawana X menghadiri acara penutupan pameran akhir tahun yang diselenggarakan Keraton Yogyakarta bertajuk “Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta”.
“Kami sangat mengapresiasi pameran ini yang menjadi ruang informasi bagi masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang Keraton Yogyakarta. Pameran ini juga menjadi magnet yang kuat yang dapat menarik minat kunjungan wisatawan,” ujar Menpar Widiyanti usai menghadiri hari pertama dari rangkaian penutupan pameran “Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta”, Rabu (22/1/2025) malam di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Hal ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dimana pariwisata bisa menjadi sumber devisa utama dengan memberdayakan destinasi unggulan termasuk mempromosikan destinasi wisata yang berbasis pada kearifan lokal. Dimana hal tersebut menjadi perwujudan dari pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pameran yang dimulai pada 6 Oktober 2024 hingga 26 Januari 2025 di Kagungan Dalem Kompleks Kedhaton Museum Kraton Yogyakarta ini mengangkat tema dan narasi mengenai peranan perempuan khususnya para permaisuri di lingkungan Kraton Yogyakarta dari Sultan Hamengku Bawana I hingga Sultan HB X.
Tidak hanya sebagai pendamping sultan, para permaisuri juga memiliki peranan dalam pembentukan peradaban.
Di Keraton Yogyakarta, perempuan dituliskan secara esensial dalam beragam babad dan naskah. Di mana mereka diceritakan menempati posisi sebagai prajurit andal, pengelola keuangan, pelahir mode, hingga diplomat ulung.
Menpar Widiyanti lebih jauh memaparkan, pameran ini akan memperkuat ruang pariwisata yang inklusif dengan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu tonggak utama. Kemenpar sendiri memiliki berbagai program dalam penguatan SDM perempuan melalui pelatihan dan sertifikasi.
“Kami terus berupaya mendukung dan menciptakan lebih banyak peluang bagi perempuan Indonesia, agar mereka dapat berkontribusi secara signifikan dalam membangun ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan inklusif,” ujar Menpar Widiyanti.
Menukil situs resmi Keraton Yogyakarta Hadiningrat, pameran “Parama Iswari’ dihadirkan dalam sembilan babak kisah para permaisuri Keraton Yogyakarta. Pada bagian pertama, pengunjung disambut dengan ruang imersif cerita pengkerdilan wanita. Kemudian akan melanjutkan laku kuasa GKR Kadipaten yang begitu andal dalam keprajuritan Langenkusuma dan kesenian melalui perangkat gamelan Kanjeng Nyai Marikangen.
GKR Sultan juga dikisahkan sebagai sosok diplomat ulung yang mampu menjadi garda kepulangan Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan di Saparua.
GKR Kencana sebagai wujud kuasa politik akan menyambut pengunjung di Gedhong Sarang Baya, yang kuasanya diejawantahkan melalui kacu abrit.
Pengelolaan keuangan menjadi salah satu yang perlu disoroti, dua pelanggengan permaisuri melalui GKR Ageng permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan GKR Kencana permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VII menjadi pengatur dan pengelola keuangan yang bijak dan terumpun.
Kehidupan mode juga turut berkembang karena uluran tangan permaisuri. Terlebih oleh GKR Kencana permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang mampu membuat ragam perhiasan para penari dan batik para sentana menjadi raya. Para putri dari Keraton Yogyakarta pun menjadi bunga elok nan harum bagi para bupati dan pangeran, hingga menduduki posisi permaisuri Susuhunan Paku Buwono X dan Adipati Mangkoenagoro VII.
Menutup langkah ruang pameran, Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai permaisuri Sri Sultan Hamengku Bawono X dikisahkan dalam empat figur. Baik itu sebagai seorang permaisuri, ibu, politikus, dan berperan sosial melalui Reksa Diah Utami.
Sri Sultan Hamengku Bawana X dalam sambutannya menyampaikan, pameran ini bukan sekadar peristiwa budaya, melainkan manifestasi Keraton Yogyakarta untuk menggugah kesadaran yang menegaskan bahwa kesetaraan gender bukan hanya cita-cita dalam tajuk modernitas. Namun gema kearifan kesetaraan yang telah terpatri dalam sejarah, budaya, dan kearifan lokal.