Fenomena flexing tengah mewabah di Indonesia. Banyak anak-anak Gen-Z semakin sering memamerkan kekayaan dan menyombongkan diri di media sosial yang memberi dampak negatif.
Menurut data, dampak dari flex culture ini menyebabkan lebih dari 19 juta anak-anak Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami depresi (Riskesdas, 2018)
Sejalan dengan itu, Director & Chief Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), Muhammad Buldansyah menyebut, “data Digital Civility Index (DCI) Microsoft menunjukkan memang terjadi peningkatan konten dan perilaku negatif di media sosial,” katanya dalam pidato peresmian program literasi digital S.O.S Kamis, 5 September 2022 di CGV FX Sudirman.
Berdasarkan survei tersebut, 30% responden menyebut kesopanan di sosial media memburuk selama pandemi, tolong-menolong berkurang 11%, sikap tidak saling mendukung berkurang 8%, rasa kebersamaan juga menurun 11%.
Melihat fenomena flexing yang semakin meluas ini, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) bersama CGV menggelar kompetisi film pendek dengan tema “Waspada Flex Culture, Stay Humble!
Lomba yang menjadi bagian dari program literasi digital Save Our Socmed ditujukan untuk pelajar, mahasiswa, dan umum dengan total hadiah Rp100 juta.
Sebagai pimpinan IOH, Muhammad Buldansyah merancang program untuk memberi keterampilan digital dan mengajak anak muda untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana meningkatkan kreativitas dengan membuat konten positif.
“Sehingga, anak muda yang jadi pengguna terbesar internet bisa memamerkan kreativitas mereka alih-alih terbawa flex culture.” ungkap Muhammad Buldansyah
Sebab, flexing menurutnya, menyebabkan rasa fear of missing out (FOMO), kurang percaya diri, merusak mental pribadi, dan mempengaruhi produktivitas.
Lewat S.O.S, IOH juga berharap bisa menginspirasi anak muda Indonesia agar menggunakan internet untuk hal-hal produktif, kreatif, dan positif.
Hal ini sejalan dengan misi perusahaan untuk menghadirkan pengalaman digital kelas dunia, menghubungkan, dan memberdayakan masyarakat Indonesia.