
Suhu udara menurut Google, saat itu mencapai 7 derajat Celsius. Dalam kondisi seperti itu, mengenakan tiga lapis pakaian menjadi keharusan. Celana pun tak cukup satu; dua atau bahkan tiga lapis dipakai, lengkap dengan kaus kaki. Sarung tangan, jika tersedia, sangat berguna. Untungnya, tidak ada hembusan angin kencang yang bisa membuat tubuh menggigil. Kalau ada, mungkin gigi bisa ikut bergemeletuk.
Dan Karimata—legenda musik jazz/fusion era 1980-an—harus tampil di udara terbuka dengan suhu yang begitu rendah. “Ini kali pertama kami bermain di Bromo, dan dengan suhu udara yang lumayan dingin,” ujar Candra Darusman. Tantangan tersendiri? Candra tersenyum, “Oh tentu saja. But the show must go on.”
Bagi para penonton, menyaksikan Karimata di panggung terbuka dengan suhu di bawah 10 derajat adalah pengalaman mahal—tak ternilai. Musik mereka mengalun seperti membuai, membuat kita seolah-olah sedang menonton Karimata di Eropa saat menjelang musim dingin. So jazzy?
Karimata, Mezzoforte, dan Ingatan Akan Era Fusion
Karimata pernah disejajarkan dengan Mezzoforte, grup fusion asal Islandia. Sama seperti Bhaskara yang dianggap sewarna dengan GRP All Stars (Lee Ritenour, Bob James, Carlos Vega, Abraham Laboriel), atau Krakatau yang kerap dibandingkan dengan Uzeb dari Kanada.
Uzeb bahkan pernah berkolaborasi dengan Casiopea. Maka, bila Karimata dikaitkan dengan Mezzoforte, itu sah-sah saja. Semua kembali ke telinga dan selera masing-masing. Yang jelas, penampilan Karimata malam itu di BRI Jazz Gunung Series 1 menjadi salah satu yang paling ditunggu.
Jazz Gunung sendiri telah menjadi agenda tahunan selama 17 tahun, memperkaya kawasan wisata Bromo. Panggung terbukanya berada di Jiwa Jawa Resort, dalam bentuk amphitheatre yang menampung sekitar 2.000 penonton. Udara dingin menjadi bagian dari daya tarik tersendiri.
Take Off yang Tertinggal
Karimata naik panggung sekitar pukul 19.30 WIB, membuka dengan tiga lagu andalan: “Dahaga”, “Relief”, dan “Gringgo”. Musiknya menghangatkan udara, membuat penonton ikut bergoyang ringan, hanyut dalam irama.
Mereka kemudian mengundang Windy Triadi—penyanyi jazzy asal Malang—yang membawakan tiga lagu: “Masa Kecil”, “Hari Ini Milik Kita”, dan “Kisah Kehidupan”. Penonton pun semakin larut dalam alunan musik.
Karimata tampil dengan formasi: Candra Darusman dan Aminoto Kosin (dua pendiri dan anggota orisinal), Dony Koeswinarno (saxophone dan flute), Indro Hardjodikoro (bass), Noldy Benyamin, dan Budhy Haryono (drum), yang juga merupakan anggota awal Karimata, khususnya di album Jezz.






Sedikit kilas balik, formasi awal Karimata pada debut tahun 1985 di Bali Room, Hotel Indonesia, terdiri dari Candra Darusman, Aminoto Kosin, Erwin Gutawa (bass), Denny TR (gitar), dan almarhum Uce Haryono (drum).
Di Bromo, Karimata menutup penampilannya dengan lagu-lagu seperti “Kharisma”, “Di Atas Batas”, “Why Not”, dan “Cenderamata”. Sayangnya, lagu legendaris “Take Off” tak sempat dibawakan—kemungkinan karena keterbatasan waktu.
Namun demikian, penampilan Karimata tetap sukses menghangatkan suasana dingin malam itu. Fusion jazz yang mereka sajikan terasa seperti selimut musik yang lembut dan bergizi—pengalaman hangat di tengah suhu yang menggigit. XPOSEINDONESIA/Palmaleter