Jumat, Februari 21, 2025

Ada Promosi Tiga Film Bugis Makassar di Balik Talk Show Akhir Tahun

Kecil Besar

Semakin banyak film Indonesia yang tayang di bioskop. Tahun ini, seminggu bisa 3 hingga 4 judul baru hadir di bioskop. Semuanya berebut perhatian calon penonton. Aneka kiat promosi coba dilakukan, namun yang dilakukan tiga filmmaker berdarah Sulawesi Selatan ini tergolong unik. Semuanya bakal rilis tahun depan.

Film yang dimaksud, masing-masing adalah “ “Coto vs Konro”, “Badik, dan Solata”, ”. Ketiganya sengaja diselipkan di sela-sela diskusi Cinema n Culture Talk Akhir Tahun 2024 bersama Film Sulawesi Selatan Bugis Makassar di Kafe Riolo, Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).

Acara ini digelar oleh Demi Film Indonesia (DFI) yang baru saja berhari jadi ke-11 bareng Demi Film Makassar (DFM) & Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS).

“Bukan Coto & Konro melainkan Pallumara yang menjadi masakan pemersatu dan mempererat siraturahmi untuk menyongsong “Coto Vs Konro” yang siap tayang Kamis 6 Februari 2025 mendatang,” ungkap produser dan sutradara “Coto Vs Konro” Irham Acho Bahtiar antusias.

Acho menyiapkan film drama berlatar bisnis kuliner. Fokusnya bukan ke makanan, melainkan persaingan antar kedai makanan khas Makassar antara Haji Mato dan Haji Sangkala. Pesan moralnya lebih kepada mereka yang tidak mau beradaptasi.

Disusul dengan film “Badik”, proyek yang dari judulnya sudah terasa aroma Bugis Makassarnya. Produser Raira Mira merasa optimis dengan cerita yang diusung dalam film yang dibesut Dicky Maland ini. “Badik bukan hanya dikenali sebagai senjata tajam, tetapi juga simbol harga diri dan cinta. Mariki jadikan film sebagai pencatatan peristiwa sejarah Bugis Makassar, ” selorohnya mantap.

Sedangkan satu lagi, “Solata” karya sutradara dan produser Ichwan Persada. Film yang memasang Rendy Kjaernett sebagai pemeran utama ini mengupas masalah pendidikan yang terjadi di Tana Toraja. Terinspirasi dari kisah nyata, Ichwan mencoba melakukan kritik sosial lewat filmnya.

Diskusi ini sendiri membahas wacana dikotomi antara film nasional dan film daerah. Namun mantan Sekretaris Lembaga Sensor Film, Sanggupri menyangkal hal itu. ”Tidak ada film daerah. Sebutan lokal juga menyiratkan isu yang diangkat semuanya nasional sehingga pemerintah selalu memberikan kesempatan yang sama seperti pengurusan online di LSF dengan satu pintu dan harga.”

Menurutnya hal terpenting dari sebuah film adalah promosi agar banyak pihak lebih mengenal. Dia mencontohkan dahulu ada sekitar 2000 helai tiket bioskop di era Pusbang Film untuk setiap film nasional.

Pengamat budaya dan juga wartawan senior Daeng Alif turut sepakat dengan aksi pemerintah itu. Ditegaskannya bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengawal semua itu. “Tepat sekali untuk berhenti menyebut film daerah atau lokal,” ungkapnya.

Sikap optimis ini tentu bisa menjadi modal bagi film Indonesia semakin disukai penontonnya. “Bulan ini penonton film Indonesia mencapai angka 77 juta, saya optimis bisa bertambah menjadi 80 juta,” demikian kata Yan Widjaya, pengamat perfilman yang kerap berakting dalam film produksi Bugis Makassar.

Humas KKSS Daeng Alif siap mendukung film tersebut. “Asalkan ada info berkenaan film atau trailer serta poster nanti sekretariat buat suratnya. Saya siap tanda tangan dengan ketua agar menasional bersama pilar dan perwakilan dalam negeri serta diaspora,” tuturnya.

Hadir dalam kesempatan tersebut hadir pula Sekjen Badan Pengurus Pusat KKSS Abdul Karim dan Wakil Ketua BPP KKSS Jumrana Salikki, pengusaha Abdi Baramuli, wartawan senior Jerry Wong serta penggagas DFI sineas Adi Surya Abdi. XPOSEINDONESIA Foto dan Teks : BAT

Must Read

Related Articles