
Dalam proses pembuatan sebuah film, bisa terserap sekitar 159 jenis pekerjaan. Banyak di antara jenis pekerjaan tersebut, bisa dan cocok diperuntukan bagi Sahabat Disabilitas.
Kesimpulan ini muncul dalam Diskusi Publik yang bertajuk “Peluang kerja di Industri Perfilman Bagi Disabilitas” yang digelar Pusat Pengembangan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI).
Pendiri Koneksi Indonesia Inklusif Marthella R. R Sirait menyebut, sesuai dengan UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, ada pasal yang menyebut, perlu adanya kesamaan kesempatan dan memberikan peluang juga menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas dalam menyalurkan potensi dalam segala segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
Namun dalam praktek keseharian, peluang tersebut belum bisa dijalankan dengan sempurna. Marthella mengambil contoh kecil, tentang perlunya penambahan teks atau terjemahan bagi penonton Disabilitas tunarungu.
“Saya pernah tanya ke Ernest Prakasa, kenapa nggak mencoba pakai teks atau penerjemah, biar sahabat tuna rungu bisa ikut menikmati tontonan dengan enak, sama seperti teman-teman lain. Menurut Ernest, dia sudah pernah mencoba, tapi keputusan akhir ada di tangan produser. Dan ini batal digunakan mungkin karena faktor budget,” kata Marthella meniru Ernest.
Padahal, kata Marthella, penggunaan teks terjemahan tidak perlu pada seluruh layar bioskop yang menayangkan sebuah film. “Cukup pada berapa bioskop, dan sahabat Disabilitas bisa datang ke situ!”
Pengajar Muda kelahiran 1991 yang pernah bertugas di desa Adodo Molu, Maluku Tenggara Barat pada periode 2013-2014 ini menyebut, hari-hari ini sikap masyarakat untuk menghargai atau menerima keberadaan sahabat Disabilitas dengan segala hak yang melekat sudah semakin kuat terlihat.
Namun masih perlu upaya ekstra keras dari sahabat Disabilitas sendiri juga peran serta seluruh masyarakat untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak tersebut.
“Untuk menjadi bagian kerja dari sebuah film, misalnya. Ini jelas tidak mudah. Apakah kita perlu mendatangi produser satu persatu dan menawarkan diri, atau kita perlu tahu produksi film yang akan berjalan, dan kemudian baru mendatangi mereka satu persatu,” kata Marthella setengah bertanya.
Dari floor diskusi, salah satu peserta bernama Rully Sofyan memberi usulan, bahwa, yang paling mudah dan cepat dijangkau untuk melibatkan sahabat Disabilitas di seluruh Indonesia dengan film adalah menempatkan mereka sebagai tenaga kerja di gedung bioskop. “Bisa sebagai bagian tiket, atau apapun,” katanya.
Mendengar usul tersebut, Marthella langsung menangkap ide cemerlang itu. “Sebuah bioskop yang mempekerjakan sahabat Disabilitas, mestinya bukan pekerjaan yang sulit. Mungkin ini bisa jadi masukan bagi kementerian Pariwisata untuk bisa melakukan itu, dengan jalan bisa memberikan surat edaran kepada pemilik bioskop, misalnya,” tutur Marthela
Pemberdayaan Disabilitas Lewat Workshop
Budi Sumarno, Pendiri KCFI sekaligus Founder Inklusi Film Indonesia yang tampil dalam sesi kedua diskusi mengatakan, sahabat Disabilitas memang memiliki minat yang sama besar seperti orang-orang dengan fisik normal, untuk memasuki sekaligus berperan di dunia film.
“Peran mereka dalam film pun, tidak semata untuk menjadi artis yang muncul di layar, namun juga bekerja di belakang layar, menjadi scriptwriter, management production, film director, cameraman, art director, sound recordist, music scooring, dubber, editor, graphic designer dan lain-lain,” kata Budi.
Menurut Budi, Inklusi Film yang dibentuknya, merupakan sebuah kegiatan sosial dalam upaya pemberdayaan masyarakat Disabilitas yang ingin menyalurkan, mengapresiasikan serta mengembangkan minat mereka di bidang perfilman dalam bentuk Workshop Film.