Budayawan dan sastrawan Radhar Panca Dahana wafat, Kamis, 22 April 2021. Radhar meninggal di usia 56 tahun. Berita itu pertama tersiar dari kakaknya,Radhar Tribaskoro, dalam unggahan di media sosial miliknya.
“Telah berpulang malam ini pukul 20.00 WIB, adik saya tercinta Radhar Panca Dahana, di UGD Rumah Sakit Cipto Mangunkusmo (RSCM),” tulis Radhar Tribaskoro.
Di rumah duka di kawasan Villa Pamulang, Tangerang, banjir puluhan karangan bunga duka yang dikirim oleh sejumlah nama penting di negeri ini. Mulai dari Presiden Jokowi, Gubernur DKI Anies Baswedan dan lain-lain. Ini membuktikan jejak langkah Radhar Panca Dahana di negeri ini, tertera dengan terhormat.
Ginjal Melemahkan Tubuh tapi tidak Otak
Radhar kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini, telah lama mengindap gagal ginjal. Ia harus menjalani cuci darah seminggu dua-tiga kali sepanjang lebih dari 20 tahun terakhir ini. Bukan hal aneh, seusai dari cuci darah di RSCM, ia dengan wajah masih terlihat pucat langsung hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi. Dalam kondisi begitu, ia tetap Radhar Panca Dahana yang pintar, kritis sekaligus berapi-api.
Problem gagal ginjal ini terasa sejak kepulangannya dari studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, 1997. Waktu itu, Radhar berkesempatan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun belajar, Radhar mudik lagi dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral.
“Alasannya, ‘Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.’,” dikutip dari laman Kemendikbud tersebut.
Radhar Panca Dahana memulai perjalanan sebagai sastrawan sejak usia 10 tahun dengan rutin menulis cerpen di Harian Kompas.
Selain mengirim tulisan lepas, Radhar menapak karier jurnalistik sebagai redaktur tamu pada malalah Kawanku , reporter lepas hingga pemimpin redaksi di berbagai media seperti Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, Vista FMTV dan Vista TV, dan Indline.com.