
Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) menggelar Webinar Zoom seri I bertajuk “Peluang Mengembangkan Ekosistem Perfilman Indonesia Di Era Pandemi”, pada Jumat, 20 Agustus 2021.
Dipandu Shandy Gasela (Ketua Dewan Juri FFWI ke-11) muncul tiga narasumber yakni Manoj Punjabi (CEO MD Corp) Lesley Simpson (Country Head WeTV & Iflix Indonesia dan Judith J Dipodiputro (CEO Perum PFN).
Diskusi daring ini dibuka oleh Ketua Panitia FFWI, Wina Armada Sukardi yang mengingatkan peran penting wartawan dalam perkembangan sejarah industri film Indonesia.
“Tercatat dalam sejarah, wartawan adalah penggerak perfiman Indonesia. Film pertama yang diproduksi di Indonesia, dan dibuat seluruhnya oleh orang Indonesia, dilakukan oleh Usmar Ismail yang berprofesi sebagai wartawan. Kami berharap semangat ini akan terus berkembang melalui FFWI,” ujar Wina.
Webinar yang dihadiri lebih dari 100 peserta ini, menampilkan kata sambutan dari Edy Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film, mewakili Ahmad Mahendra, Dit.PMMB Kemendikbudristek Film, yang menyambut baik acara yang digelar FFWI ini.
“Kami mendukung acara ini dan terus mengawal FFWI hingga terselenggaranya puncak acara di bulan Oktober mendatang,” ungkap Edy Suwardi.
Era Baru Produksi Film
Film menjadi salah satu sektor yang paling terpukul dengan adanya pandemic Covid 19. Seperti diketahui, sampai hari ini bioskop masih tutup, padahal mall sudah boleh dibuka, dan resto sudah melakukan dine in.
Dengan kondisi ini, secara otomatis banyak perusahaan film yang terpukul. Namun, di antara banyak perusaaan film tersebut, MD Corp yang dipimpin Manoj Punjabi justru malah melejit.
Banyak produksi MD yang tayang di berbagai layanan OTT (over the top), termasuk salah satunya lewat WeTV, yang mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 2019.
Manoj Punjabi menyebut, “di tengah masa pandemi, jika perusaan film hanya bertumpu produksi dan tergantung pada bioskop, sudah pasti babak belur. Pasti itu!”ungkap Manoj.
Namun MD Pictures beruntung, sejak sekitar empat-lima tahun lalu, mereka sudah berpikir untuk membuat devisi khusus OTT, dan mulai mencari tahu cara membuat film series.
“Karena saya percaya digital ini akan grow. Itu sudah menjadi master plan kami, jadi bukan baru sekarang kami berpikir soal OTT!” lanjut Manoj.
Manoj melihat OTT sebagai peluang baru di luar produksi film yang tayang di bioskop dan sinetron untuk televisi. Ketiganya memiliki penggarapan yang sangat berbeda.
Sinetron yang tayang setiap hari, kalau diproduksi untuk 50 episode, menurut Manoj masih merugi. “Paling tidak 500 episode kita baru bisa profitable,” kata Manoj
Belum lagi proses penggarapan sinetron yang memiliki pressure melelahkan. Untuk menggarap sinetron yang tayang harian menurut Manoj, dibutuhkan waktu 24 jam, di mana proses syuting makan waktu 10-12 jam, proses editing selama 6 jam. Dan dalam 18 jam kerja, kaset rekaman film sudah harus dikirim ke stasiun TV.
Sementara mini series untuk OTT, digarap tidak seperti itu. Mini series digarap seperti proses pembuatan film, hanya durasi tayangnya lebih panjang dari film.
“Bagi saya OTT adalah alternatif baru yang sedang ditunggu. Ini akan jadi the next TV. Dia akan akan jadi free on air di Indonesia. Ini peluangnya besar sekali. Tiga sampai lima tahun ke depan, OTT bisa akan lebih besar lagi,” ungkap Manoj.
Meski harapannya besar untuk OTT, Manoj tetap berkeinginan film bisa tetaptayang di bioskop .
“Kita tetap butuh biokop. Saya tetap memproduksi film Grade A. Semoga ini yang bisa bangkitkan bioskop kembali. Kita sedang siapkan di bulan Desember ada satu produksi MD yang tayang di bioskop. Ini untuk membuktikan, MD salah satu yang tetap berani merilis film bioskop.” tutur Manoj
OTT = Cara Baru Menonton
Platform berbasis aplikasi WeTV milik Tencent Holdong Ltd, masuk ke pasar Indonesia sejak akhir 2019. Semula, platform ini membidik segmen penggemar drama Asia yang jumlahnya terus meningkat di kalangan milenial.
WeTV sendiri menyediakan tayangan dari Cina, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang dan Indonesia.
“Sejak pertengahan tahun 2020, WeTV membuka kerja sama dengan sejumlah PH untuk memproduksi konten Indonesia, yakni WeTV Original “My Lecture My Husband” (MD Pictures), dan “Imperfect The Series (Starvision Plus),” ujar Lesley Simpson, Country Head We TV & IFlix Indonesia
Lesley mengatakan sangat berterima kasih kepada MD Pictures. “Pak Manoj itu sangat berani membawa konten dengan kualitas yang sangat luar biasa. Ini juga bisa dicatat sebagai gebrakan yang viral di sosmed, ketika Reza Rahardian dianggap menikah sungguhan dengan Prilly Latuconsina. Dan Masyarat sangat exiceted menunggu seriesnya tayang di WeTV,” puji Lesley.
Lesley sendiri optimis, WeTV Indonesia adalah platform yang terus tumbuh dan semakin membuka peluang bagi konten Indonesia untuk dinikmati oleh penonton di luar negeri, “seperti di Malaysia, Jepang dan lain-lan. Ini membuaka peluang sineas Indonesia untuk go Internasional melalui WeTV.”
Oleh karena konten bisa menayang ke luar negeri, Lesley mengisyarakan kualitas konten WeTV harus sama dengan bioskop. “Karena itu penyutradaraan, pemain dan crew harus orang-orang kreatif yang berkualitas!”
Lesley mengatakan, tekologi baru yang berada di WeTV telah pula mengubah cara menonton.
“Dulu, kalau mau nonton si Unyil di TVRI harus nunggu hari Minggu. Kini, kita nonton tidak terpaku jadwal. WeTV dan Iflix menyediakan content yang bisa ditonton kapan saja, di mana saja, secara gratis. Ini sesuai dengan generasi Zilenial yang terbiasa dengan serba instan!”
Untuk memenuhi keinginan generasi zilenial pula, WeTV dan Iflix, membangun aplikasi komentar bareng.
“Apabila penonton ingin menyampaikan komplain, entah ikutan sedih, sebel, atau jatuh cinta pada tayangan, mereka bisa langsung menuulis dan menyampaikannya ketika menonton. Inilah salah satu teknologi yang kita sesuaikan dengan penonton generasi sekarang. Ini hanya bisa dilakukan di OTT yang berbasis teknologi. Beda di jaman dulu, kalau complain harus kirim surat untuk dimuat di kolom surat redaksi!” kata Lesley.
Sementara itu, Judith J Dipodiputro (CEO Perum PFN, menyebut bahwa “PFN menjadi katalis pertumbuhan industri perfilman dan industri konten Indonesia, termasuk sentra pembiayaan industri film dengan banyak kerjasama seperti Telkom Group untuk start up. Saya garisbawahi film yang dibiayai PFN itu harus punya nilai sosial bagi Indonesia dan saat ini masih berproses,” ucap Judith. XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dokumentasi FFWI