“Tapi, ibu-ibu harus ingat, kelor ini bukan satu-satunya nutrisi. Ibu-ibu harus tetap
makan telor, ikan, dan lain-lain. Jangan karena sudah ada kelor, ibu-ibu makan kelor
terus,” kata Chotim bersemangat.
Satu setengah jam berlalu dan acara pun usai. Desi Rusmiyasih masih duduk di
kursinya kala perempuan-perempuan lain mulai menuruni anak tangga. Desi
mengenakan jilbab kaos hijau. Anak balitanya terlelap dalam gendongannya. Dia
mengaku senang dengan gerakan HaloPuan. “Anak saya bisa terbantu gizinya,”
katanya yang mengaku sehari-hari memberi makan anaknya bubur tim selain air
susu ibu. “Saya berharap anak-anak Tegalangus bisa naik gizinya,” tambahnya.
Setelah mengetahui manfaat kelor, dia pun mengatakan mau mengonsumsi bubuk
kelor dan memberi makan balitanya dengan asupan kaya gizi itu.
Selain membawa pulang paket makanan tambahan berupa 300 gram bubuk kelor
dari HaloPuan, warga Tegalangus memperoleh sejumlah bibit pohon kelor.
Harapannya, pohon itu bisa dibudidayakan di pekarangan-pekarangan rumah warga,
sehingga ketersediaan bubuk kelor tetap terjaga.
Bubuk daun kelor kini cukup populer di negeri-negeri Barat. Blora, Jawa Tengah,
tempat asal bubuk kelor HaloPuan, telah mengekspor bubuk kelor ke Eropa.
Harganya bisa mencapai 16 dolar per 200 gram atau sekitar 240 ribu rupiah.
Karenanya, adalah ironis jika rakyat Indonesia masih belum mengenal manfaat
bubuk yang diekstraksi dari tanaman berjulukan “pohon mukjizat” dan “sahabat
terbaik ibu” ini.
\
Menurut Adel, setidaknya ada 150 balita berstatus gizi buruk dan mengalami
stunting di Tegalangus. “Itu hasil penimbangan Februari 2021.” Angka ini sangat mungkin hanya puncak gunung es. Sebab, tak sedikit ibu yang belum tergerak
memeriksakan anak balitanya ke puskesmas atau posyandu secara rutin.
“(Ibu-ibu) harus datang ke posyandu, jangan baru datang kalau dipanggil kader
PKK,” kata Adel di hadapan ibu-ibu Tegalangus. “Kalau ibu-ibu tidak pernah datang
ke posyandu, kita tidak pernah tahu apakah anak ibu berstatus gizi kurang, buruk,
atau bahkan stunting.”
Sementara itu, perwakilan PKK Tegalangus, Lilis Suryani, mengungkap bahwa
selama ini warga hanya mengenal dan mengonsumsi daun kelor sebagai sayuran.
“Sekarang kami baru tahu kelor bisa dikonsumsi dalam bentuk bubuk, dibikin teh,
atau dicampur dengan makanan lain.” Dia juga mengakui kondisi anak-anak
Tegalangus masih sangat memprihatinkan karena banyak balita yang stunting dan
gizi buruk. “Insya Allah kami mau memanfaatkan kelor ini karena mudah dicari dan
gampang diolah.”