Namanya Febriani Mega Saputri biasa dipanggil Mega. Sejak usia sangat muda, 3 tahun, ia sudah menekuni profesi langka: sebagai sinden. Ia menjalani profesi itu dari dusunnya di Katang, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Popularitasnya lumayan harum, bukan hanya seukuran dusunnya. Namun juga pernah diundang tampil di Istana Negara pada 7 Agustus 2009, bersamaan dengan pementasan lakon Sesaji Raja Suya yang dibawakan dalang Ki Purbo Asmoro.
Hadir pula ketika itu empat pesinden tamu Kitsie Emerson (Amerika), Karen Elizabeth Sekararum (Amerika), Hiromi Kano (Jepang), dan pelawak Kirun. Selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono yang jadi penonton, terlihat pula sejumlah pejabat negara larut menikmati keelokan suara kanak-kanaknya yang menawan.
Meski masih cilik, Mega memang bukan sinden sembarangan. Ia pernah bersepanggung mendampingi dalang kondang seperti Ki Warseno Slenk, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo Asmoro hingga Ki Suwondo.
Penampilannya yang polos sangat percaya diri. Mega juga dikenal mampu melucu dan bisa membuat orang tertawa terpingkal pingkal. Di luar itu, keindahan suaranya sebetulnya mampu menjadikannya seorang penyanyi pop. Popularitas dan limpahan materi bisa saja dia dapatkan.
Namun Mega memilih jalan berbeda. Dia memilih jalan sepi untuk menjadi seorang pesinden. Menjaga budaya bangsa yang selama ini telah menjadi nafas hari harinya. Sebuah pergulatan hidup yang sangat ‘liat’ dan butuh effort yang luar biasa
Kepala Keluarga Tangguh
Saat ayahnya wafat dua tahun lalu, Mega yang ketika baru berumur 11 tahun, langsung mengambil peran sebagai kepala rumah tangga. Ia dengan tangguh menghidupi Ibu dan membiayai sekolah kedua adiknya dari honor sebagai pesinden. Meskipun resikonya cukup berat untuk anak seusianya. Karena setiap dapat job, ia harus pulang larut bahkan menembus waktu dini hari.
Dan takdir pun bisa berkata lain. Perannya sebagai kepala rumah tangga, terpaksa berhenti pada 23 Juni 2013. Hari itu, saat pulang kerja di pukul 03.00, ia mengendarai sepeda motor membonceng ibunya, Sri Handayani. Mungkin lantaran mengantuk, ia mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pohon. Ibunya selamat, sementara ia wafat di usia 13 tahun dengan rahang hancur.
Tribute To Mega
Kepergian Mega di usia muda, dengan profesinya yang langka, dilihat Partai NasDem sebagai momentum untuk kembali merestorasi cinta kepada kesenian budaya lokal.
Karena itu, dalam rangka memperingati 100 hari meninggalnya Mega, Partai Nasdem selain mengadakan tahilan, juga menggelar Tribute To Mega pada 29/9/2013.
Acara yang dihadiri langsung Ketua Umum NasDem Surya Paloh itu mengundang pula sejumlah budayawan antara lain Gugum Gumbira, Arcadius Sentot S, Theodora Retnomaruti, Thoeseng TT Asang, S Hut, MM. (Wakil Kepala Badan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak, KalTeng).
Event yang diadakan di lapangan Katang di Desa Sukorejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri ini, diisi dengan beragam acara dolanan (ada eggrang congklak, lompat tali, sepak bola api), juga penampilan tarian Kalimantan dan pertunjukan wayang kulit dengan dalang Warseno Slenk
Surya Paloh mengatakan bahwa NasDem memberikan apresiasi tinggi terhadap Mega, si pesinden muda. “Ia harus menjadi contoh generasi muda sekarang yang terbius dengan budaya asing,” ungkapnya,
“Ketika cheersleader, gangnam style, musik rap dan yang lain sedang digandrungi anak-anak muda, Mega justru tidak terpikat. Mega lebih memilih menjadi pesinden, yang merupakan kebudayaan asli Jawa,” kata Surya Paloh.
Nasdem sebagai partai politik baru, ingin memperihatkan kepada bangsa Indonesia bahwa posisi dan peran budayawan harus mendapatkan tempat terhormat di antara berbagai profesi yang ada. “Kita harus bersama-sama dan komitmen untuk melestarikan kebudayaan yang ada,” pinta Surya Paloh.