Sesi tanya jawab membawa banyak diskusi menarik, termasuk pertanyaan tentang alasan pemilihan Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia, sementara kota-kota lain dengan tradisi sastra yang kaya seperti Padang Panjang atau Banda Aceh tidak terpilih. Pengelola Graha Bhakti Budaya TIM juga diberi sorotan karena kebijakan sewa yang dianggap terlalu tinggi bagi pelaku sastra lokal.
Laura Prinsloo Bangun merespons kritik tersebut dengan menegaskan bahwa meskipun industri sastra lokal mungkin belum berkembang pesat, status Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia memiliki nilai penting sebagai pegangan untuk memacu perkembangan industri tersebut.
Alex Sihar menambahkan bahwa perlu fokus dari semua pihak untuk memasukkan aspek kebudayaan, sastra, dan penerbitan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, sehingga setiap program memiliki landasan hukum yang kuat dan dukungan yang berkelanjutan.
Diskusi ini tidak hanya mengevaluasi pencapaian Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran penting sastra dalam identitas kebangsaan dan ekspresi kebudayaan. Dengan membahas isu-isu yang kompleks dan mendalam, diskusi ini menjadi panggung penting dalam merumuskan langkah-langkah konkrit untuk memajukan status Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia yang hidup dan berdampak. XPOSEINDONESIA / Ihsan