Semakin banyak film Indonesia yang tayang di bioskop. Tahun ini, seminggu bisa 3 hingga 4 judul baru hadir di bioskop. Semuanya berebut perhatian calon penonton. Aneka kiat promosi coba dilakukan, namun yang dilakukan tiga filmmaker berdarah Sulawesi Selatan ini tergolong unik. Semuanya bakal rilis tahun depan.
Film yang dimaksud, masing-masing adalah “ “Coto vs Konro”, “Badik, dan Solata”, ”. Ketiganya sengaja diselipkan di sela-sela diskusi Cinema n Culture Talk Akhir Tahun 2024 bersama Film Sulawesi Selatan Bugis Makassar di Kafe Riolo, Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).
Acara ini digelar oleh Demi Film Indonesia (DFI) yang baru saja berhari jadi ke-11 bareng Demi Film Makassar (DFM) & Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS).
“Bukan Coto & Konro melainkan Pallumara yang menjadi masakan pemersatu dan mempererat siraturahmi untuk menyongsong “Coto Vs Konro” yang siap tayang Kamis 6 Februari 2025 mendatang,” ungkap produser dan sutradara “Coto Vs Konro” Irham Acho Bahtiar antusias.
Acho menyiapkan film drama berlatar bisnis kuliner. Fokusnya bukan ke makanan, melainkan persaingan antar kedai makanan khas Makassar antara Haji Mato dan Haji Sangkala. Pesan moralnya lebih kepada mereka yang tidak mau beradaptasi.
Disusul dengan film “Badik”, proyek yang dari judulnya sudah terasa aroma Bugis Makassarnya. Produser Raira Mira merasa optimis dengan cerita yang diusung dalam film yang dibesut Dicky Maland ini. “Badik bukan hanya dikenali sebagai senjata tajam, tetapi juga simbol harga diri dan cinta. Mariki jadikan film sebagai pencatatan peristiwa sejarah Bugis Makassar, ” selorohnya mantap.
Sedangkan satu lagi, “Solata” karya sutradara dan produser Ichwan Persada. Film yang memasang Rendy Kjaernett sebagai pemeran utama ini mengupas masalah pendidikan yang terjadi di Tana Toraja. Terinspirasi dari kisah nyata, Ichwan mencoba melakukan kritik sosial lewat filmnya.
Diskusi ini sendiri membahas wacana dikotomi antara film nasional dan film daerah. Namun mantan Sekretaris Lembaga Sensor Film, Sanggupri menyangkal hal itu. ”Tidak ada film daerah. Sebutan lokal juga menyiratkan isu yang diangkat semuanya nasional sehingga pemerintah selalu memberikan kesempatan yang sama seperti pengurusan online di LSF dengan satu pintu dan harga.”