Untuk Menilai Muatan Film Nasional, LSF Libatkan Praktisi

- Advertisement -

Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020-2024  melibatkan praktisi film untuk menilik muatan perfilman nasional.

Tri Widyastuti Setyaningsih,  Ketua Subkomisi Penyensoran di Komisi I LSF di Jakarta, Senin, mengatakan sejumlah praktisi diundang  untuk memikirkan dan memecahkan masalah ini.

Ini dilakukan  agar internal LSF yang terdiri atas 17 orang anggota dan 34 tenaga penyensoran bisa menilai film bukan dari perspektif yang sempit atau istilahnya “kacamata kuda”.

Seperti pada tahun 2023 lalu LSF menggelar    diskusi, antara lain  “Perempuan di Balik Film Horor”, “Melihat dan Memahami Tayangan Visual dari Perspektif Anak”, dan “Menyelami Over The Top (OTT).

Widyastuti menjelaskan,  “Tahun 2023, kami mengundang para sutradara dan produser film untuk berdiskusi. Kami menanyakan misalnya, kenapa mereka bikin film horor? Kenapa bukan film komedi? Apa rumusan dan kemasannya?” ungkapnya di Tengah press conference  Laporan Kinerja  LSF 2023

Sementara itu Widyastuti mengatakan pada Pasal 6 Undang-Undang Perfilman secara tegas melarang film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman mengandung beberapa unsur, seperti mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Menonjolkan pornografi, memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar ras, dan/atau antargolongan.

Selanjutnya, menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum dan
Merendahkan harkat dan martabat manusia.

Namun UU Perfilman juga mendorong pelaksanaan pedoman dan kriteria sensor tersebut dengan prinsip dialogis antara LSF dengan pemilik dari film dan iklan yang disensor (dalam Undang-Undang Perfilman (UU Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 60 ayat 2), serta adanya penilaian objektif dan independen agar sensor dapat memajukan industri perfilman nasional.

Film “Vina: Sebelum 7 Hari” (2024) sudah lulus sensor berdasarkan klasifikasi tontonan usia 17 tahun ke atas.

Karena berdasarkan penilaian objektif dan independen oleh LSF, adegan dialog pada film itu cocok untuk kalangan 17 tahun ke atas. Dan kalau ada muatan kekerasan dan pornografi, itu disajikan secara proporsional (tidak ditampilkan secara gamblang).

Ketua LSF Rommy Fibry Hardiyanto mengatakan adegan tersebut bisa menjadi masalah jika film tersebut diloloskan dengan klasifikasi tontonan semua umur (SU) sehingga anak-anak bisa ikut menonton.

- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -

Related news

- Advertisement -