Biang kerok dalam Bahasa Indonesia berarti orang yang menjadi penyebab kericuhan. Kata itu menjemput tuahnya, ketika diusung kembali menjadi judul film pada 2017 oleh Max Pictures. Karena sejak sebelum film dirilis, penulis naskah asli film ‘Benyamin Biang Kerok’ versi 1972 Syamsul Fuad, menuding Ody Mulya Hidayat dan rumah produksinya Max Pictures serta HB Naveen dan Falcon Pictures melakukan pelanggaran hak cipta dalam film versi baru Biang Kerok.
Syamsul membawa masalah ini ke ranah hukum setelah film Benyamin Biang Kerok dirilis pada 1 Maret 2018. Ia juga mengajukan tuntutan ganti rugi materiil Rp1 miliar untuk harga penjualan hak cipta film Benyamin Biang Kerok. Dan meminta royalti penjualan tiket film sebesar Rp1.000 per tiket. Selain itu, Syamsul juga masih meminta ganti rugi imateriil sebesar Rp10 miliar.
Sidang perdana dijadwalkan pada 22 Maret 2018, tetapi diundur ke 5 April karena pihak tergugat tak hadir. Pada 5 April, berkas seperti surat kuasa belum lengkap dan sidang dilanjutkan ke 12 April. Baru setelah itu, sidang masuk ke tahap pemberian jawaban dari tergugat yang diadakan 19 April.
Kini, tensi Biang Kerok nampaknya bukannya mereda malah semakin meninggi. Terutama karena Syamsul Fuad malah justru digugat balik oleh Ody Mulya Hidayat sebesar Rp 50 miliar. Dengan rincian pihak penggugat merasa dirugikan secara materiil sebesar Rp 35 miliar dan imateriil Rp 15 miliar. Oddy menyebut, gugatan tersebut bukan untuk mencari uang.
“Saya nggak cari uang. Saya enggak akan cari uang kayak mereka. Tetap mengimbangi apa yang dia inginkan. Kalau dia tuntut, ya kami tuntut balik,” ujar Oddy Kamis (19/4/2018) di Balai Semanggi.
Bagiono SH kuasa hukum Max Pictures, mengatakan angka Rp50 miliar berdasarkan hitung-hitungan yang matang. “Tadinya kami tidak berpikir soal angka. Tapi melihat pihak sana melayangkan gugatan yang angka yang tidak rasional. Falcon dan Max Pictures yang sudah berkecimpung lama di dunia film tidak mungkin menabrak regulasi yang ada,” kata Bagiono lagi.
Bagiono menjelaskan, yang dikedepankan bukan soal uang, tapi mediasi. Ketika somasi dari Pak Syamsul dilayangkan ke Pak Ody, pihaknya sudah mengedepankan mediasi, datang, ngobrol. “Kami bilang akan beri uang kerohiman, memberi legal standing yang jelas, positioning-nya jelas. Ya sudah jangan ribut. Dan kami kaget juga ketika tiba-tiba dituntut, satu film itu hampir Rp30 miliar,” ucap Bagiono.
Menurut Bagiono, gugatan yang mereka layangkan pada Syamsul juga berikut permintaan maaf dan 1000 rupiah. “Kalau mau selesai dengan musyawarah oke, tapi kalau mau terus ya kita lanjut. Kalau mau damai, besok pun kita cabut (gugatan balik ke Syamsul). Dalam kasus ini kita posisinya memanusiakan orang.”
Konflik hak cipta antara Syamsul dengan Falcon dan Max sudah bermula sejak penghujung 2017. Setelah mendengar Biang Kerok hendak “dibuat ulang” oleh Falcon dan Max bersama sutradara Hanung Bramantyo, Syamsul menghubungi dua rumah produksi itu untuk meluruskan persoalan hak cipta.
Syamsul merasa punya hak atas judul Benyamin Biang Kerok, karakter Pengki dan cerita film asli yang disutradarai Nawi Ismail pada 1972 itu. Max Pictures yang membeli hak cipta film tersebut pada tahun 2010 menganggap, ketika hak cipta film Benyamin Biang Kerok dibeli, maka segala isi, karakter dan cerita film sudah mencakup keseluruhan proses jual beli.
“Tidak ada landasan hukum kalau seseorang nama itu bisa dipatenkan. Film ini kami beli semuanya. Sampai judul-judulnya, isinya sampai karakter-karakternya,” ujar Bagiono.
Syamsul mengklaim punya hak atas judul, karakter Pengki, serta cerita karena dia juga yang mengajukan ide dan naskah film aslinya kepada mendiang sutradara Nawi Ismail. Pihak Falcon dan Max mengklaim sudah mendapatkan izin sah dari Yayasan Benyamin Sueb pimpinan Beno Rachmat, putra Benyamin, atas film ini.
Menurut Syamsul, seharusnya rumah produksi meminta lampu hijau darinya jika hendak memakai Biang Kerok dan Pengki di film terbaru. “Mereka bilang beli filmnya (Biang Kerok 1972). Film itu relatif, (beli) apanya. Kalau bicara hak cipta judul, itu mesti dengan saya,” ucap Syamsul.
“Hak cipta itu tidak lepas dari saya. Ceritanya, bukan film dan peredarannya. Judulnya, kecuali mereka tidak pakai Biang Kerok, lain soal. Kalau Biang Kerok, ya itu punya saya. Bukti dari Sinematek ada. Sinopsis asli saya ada, karakter ada,” imbuhnya.
Agaknya, kata Biang Kerok memang bertuah. Belum jelas juga gugat menggugat ini akan berakhir seperti apa. Kita tunggu saja….XPOSEINDOESIA/NS Foto : Muhamad Ihsan