Diskusi Kebudayaan bertajuk , ‘Indonesia di Persimpangan Sejarah’ digelar di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta, Rabu (27/12/23). Sejumlah jurnalis, seniman dan budayawan hadir menyimak obrolan hangat dan mencerahkan pikirian.
Diskusi menghadirkan nara sumber Dr. Zastrouw Al-Ngatawi dan Isti Nugroho dengan moderator Amien Kamil.
Amien Kamil mengawali acara dengan mengungkap dasar pemikiran diskusi ini digelar. Menurut Amien, melihat realitas yang ada, saat ini Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Tiga sampai lima tahun belakangan ini, kita menyaksikan berbagai macam kejadian yang seringkali jauh dari apa-apa yang diniatkan oleh Bapak pendiri bangsa dan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga serta pikirannya untuk kemerdekaan Indonesia.
“Lihatlah, korupsi merajalela hampir di semua instansi pemerintahan. Diskusi ini kita coba untuk turun rebuk pikiran bagaimana membaca situasi Indonesia dan bersama-sama belajar untuk mencintai Indonesia. Entah yang bergerak dalam bidang kesenian atau siapapun yang peduli dengan masa depan Indonesia, haruslah jadi Pelopor penyadaran dan agen perubahan ke arah yang lebih baik!” kata Amien yang dikenal di panggung sastra dan seni rupa dan penulis beberapa buku. Salah satunya buku antologi puisi Tamsil Tubuh Terbelah (2007).
Amien kemudian memperkenalkan dengan panjang lebar dan detail latar belakang dua narasumber hari itu, yakni , seorang budayawan dari kalangan nahdliyin yakni Dr. Ngatawi Al-Zastrow, S.Ag., M.Si, dan Isti Nugroho adalah aktivis 1980-an, yang delapan tahun dipenjara rezim Orde Baru atas tuduhan subversif.
Bukan di Persimpangan Sejarah Tapi di Lika-Liku Sejarah
Soal judul Diskusi Kebudayaan, ‘Indonesia di Persimpangan Sejarah’, Isti Nugroho menilai lebih tepat Indonesia di Lika liku Sejarah. Karena Republik Indonesia mengalami up and down justru ketika di awal-awal Proklamasi dan sebelum proklamasi dari mulai 1930 sampai 65. “Nah di masa itu Indonesia betul-betul dalam dalam persimpangan sejarah. Artinya, Indonesia mau ke kiri atau ke kanan, tetapi kemudian Indonesia setelah tahun 65 betul-betul berkibar dan berdarah, karena yang dulu dikatakan ditolak Soekarno diterima oleh Soeharto,”ujar Isti,