Akhmad Sekhu Antara Wartawan dan Penyair

- Advertisement -
- Advertisement -

Merantaulah, karena dengan merantau kita akan tahu makna hidup yang sesungguhnya. Demikian juga Akhmad Sekhu yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai seorang wartawan yang meliput dunia hiburan, baik film, musik, fashion show, dan lain-lain. 

Meski sibuk liputan ingar-bingar liputan dunia hiburan, Sekhu masih tetap semangat berkarya sastra, bahkan dunia hiburan yang diliputnya sering menjadi sumber inspirasi karyanya. Maka lahirlah puisi maupun cerpen yang dimuat di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Beberapa puisi yang dihasilkannya, antara lain, Sajak Selebritas, Paradoks Peran, Fragmen di Pojok Bioskop, Di Balik Cahaya Gemerlapan, Fantasia Sinema, dan lain-lain. Adapun sejumlah cerpen, di antaranya, Kotokowok, Ndaru, Dolop, Lelaki Jempolan, Sujud Terlama di Dunia, Teror Dodol, Sedekat Mei Juni, dan lain-lain.

Akhmad Sekhu, sastrawan yang juga dikenal sebagai wartawan, memang tetap semangat berkarya sastra. Karya-karyanya yang telah terbit, antara lain, buku puisi tunggalnya; Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), Memo Kemanusiaan (manuskrip). Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021). Kumpulan cerpennya “Semangat Orang-Orang Jempolan” (siap terbit).

- Advertisement -

“Alhamdulillah, saya masih tetap dalam dunia kepenulisan, “ kata Akhmad Sekhu, kepada wartawan, Sabtu (21/5/2022).

Lebih lanjut, lelaki kelahiran desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971 ini menerangkan keseriusannya berkarya, baik puisi, esai, cerpen, dan novel. “Saya serius nulis karya sastra sejak tahun 1994 saat mulai kuliah di Yogyakarta jadi sudah lebih 28 tahun, “ terang alumnus Universitas Widya Mataram Yogyakarta (2000).

Sekhu menyampaikan, kebiasaan menulis yang dipupuk sejak kecil itu bisa menjadi terapi sekaligus juga aktualisasi diri. “Saya ingin terus berkarya seumur hidup saya, “ ungkapnya mantap.

- Advertisement -
Menyalin

Dunia sastra bagi Sekhu memang sudah mendarah daging dalam hidupnya, hingga nama kedua anaknya hasil pernikahannya dengan Wanti Asmariyani mengandung unsur sastra, yaitu Fahri Puitisandi Arsyi, dan Gibran Noveliandra Syahbana. 

Menurut Sekhu, karya sastra puisi menjadi keistimewaan tersendiri. “Karena puisi, saya bisa bertemu dengan orang nomer satu di Jogja, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang secara khusus mengundang saya untuk bicara empat mata, “ ungkapnya mantap.

Buku puisi kedua karya Akhmad Sekhu yang berjudul ‘Cakrawala Menjelang” diberi kata sambutan khusus oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Sebuah kehormatan bagi saya mendapat sambutan khusus dari beliau, “ ucapnya bangga.  

“Jika kita baca puisinya, terasakan betapa sarat akan teks ilahi dan tekstur alami. Mungkin berakar dari desa kelahirannya di Jatibogor, Suradadi, Tegal — yang dipenuhi oleh budaya pesisiran yang islami. Sebagai penyair, Akhmad Sekhu adalah seorang otodidak, jika dilihat dari latar pendidikannya.” Demikian kutipan kata sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Buku puisi pertamanya, kata Sekhu, berjudul ‘Penyeberangan ke Masa Depan” diberi kata pengantar oleh Piek Adijanto Soeprijadi. “Seorang Guru SMA Negeri 1 Tegal, yang juga termasuk tokoh sastrawan Angkatan 66, “ paparnya. 

Sekhu menyampaikan, bahwa ia sedang mempersiapkan buku puisi ketiganya yang berjudul ‘Memo Kemanusiaan” yang mendapat sambutan dari berbagai kalangan. Termasuk di antaranya, wartawan dan budayawan Bens Leo (alm), artis Cinta Laura Kiehl dan artis senior Titiek Puspa. 

“Perihal ‘Memo Kemanusiaan’ karya Bro Akhmad Sekhu. Salah satu karakter kuat buku karya jurnalis, apa saja bentuknya : biografi orang lain, biografi personal,  esay atau kumpulan puisi, atau novel sekalipun –  selalu terlihat ada jejak jurnalisme. Juga karya Bro Akhmad Sekhu, jurnalis yang aktif menulis buku, “ tulis Bens Leo (alm).

“Setelah membaca puisi dalam buku “Memo Kemanusiaan” karya Akhmad Sekhu ini, aku jadi mengerti lebih dalam mengenai dunia seni yang tidak hanya melulu hingar bingar musik, lagu dan tari tarian yang indah, akan tetapi ada juga puisi yang isinya sangat bermakna dan langsung menusuk dada. Sungguh indah puisi-puisi di buku ini, juga penuh arti dan sangat mendidik, “ tulis Cinta Laura Kiehl.

Adapun, Titiek Puspa menyampaikan apresiasinya, “Saya mengapresiasi dan menyambut baik, penerbitan buku ‘Memo Kemanusiaan’ karya Akhmad Sekhu ini. Banyak sekali tema di dalamnya, mulai tema Pandemi Covid-19 mengenai tenaga kesehatan sang pejuang kemanusiaan, hikmah dari pandemi, kita harus selalu cuci tangan, berjemur, hingga kita harus vaksin, sampai puisi menyinggung korupsi di tengah bansos pandemi yang sangat memilukan, kok tega sekali korupsi di tengah penderitaan masyarakat. Kemudian, tentang situasi negeri yang masih terbelah, juga masih derasnya urbanisasi, dunia perfilman, puisi-puisi religi tentang Ramadhan, puisi-puisi hujan, ibu, pernikahan, hingga tentang keluarga. Teruslah semangat berkarya! Tetaplah menulis puisi penuh dengan kejujuran dan ketulusan. Bangunlah kesadaran, ingatkan manusia yang lupa pada kemanusiaannya.”

Sekhu juga sedang menyiapkan terbitnya kumpulan cerpen “Semangat Orang-orang Jempolan” yang memuat kisah orang-orang  yang “hebat” dalam menjalani hidupnya dengan penuh  semangat. “Mereka ada di sekitar lingkungan hidup kita yang tampak sederhana, apa adanya, tapi sangat bersahaja, yang sebenarnya “hebat” bisa menjadi suri tauladan kita,” ungkap Sekhu mantap.

Kedua buku tersebut sebenarnya ingin menjadi semacam kado ultahnya yang ke-51, tapi karena Pandemi Covid-19 sehingga terbitnya tertunda. “Pada usia semakin menua, klta harus semakin memberi makna pada hidup kita, ” tegasnya.

Ada pepatah bijak, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. “Kita manusia kalau mati yang diingat jasa-jasa kebaikan selama hidupnya dan saya ingin diingat karya-karya saya, ” pungkas Akhmad Sekhu optimis 

Karya-karya Akhmad Sekhu sudah banyak yang dijadikan bahan penelitian dan skripsi mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana.

Cerpen karya Akhmad Sekhu berjudul ‘Berangkat’ terinspirasi dari kisah nyata di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, dijadikan film pendek berjudul ‘Krenteg’, yang diikutkan di Festival Film Tegal (FFT) 2019 memborong banyak penghargaan FFT, yakni Aktris Terpilih (Rita Riyani), Aktor Terpilih (Ghieffari Ardiyansyah), Sutradara Terpilih (Marjo Klengkam Sulam), Poster Terpilih, dan Film Favorit.

Baca Juga :  Ayo ke Legoland Malaysia Resort, Nikmati Serangkaian Wahana Baru

Karya-karya Akhmad Sekhu, baik puisi, cerpen dan artikelnya, juga dimuat di banyak buku antologi bersama, di antaranya, Cerita dari Hutan Bakau (1994), Serayu (1995), Fasisme (1996), Mangkubumen (1996), Zamrud Khatulistiwa (1997), Tamansari (1998), Jentera Terkasa (1998), Gendewa (1999), Embun Tajalli (2000), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2001), Nyanyian Integrasi Bangsa (2001), Malam Bulan (2002), Nuansa Tatawarna Batin (2002), Aceh dalam Puisi (2003), Bisikan Kata Teriakan Kota (2003), Maha Duka Aceh (2005), Bumi Ini adalah Kita Jua (2005), Komunitas Sastra Indonesia: Sebuah Perjalanan (2008), Antologi Seratus Puisi Bangkitlah Raga Negeriku! Bangkitlah Jiwa Bangsaku! (Seratus Tahun Budi Utomo 1908-2008, diterbitkan Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2008), Murai dan Orang Gila (2010), Antologi Puisi dan Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (2010), Kabupaten Tegal; Mimpi, Perspektif, dan Harapan (2010), Antologi Puisi Penulis Lepas (2011), Negeri Cincin Api (2011), Equator (antologi 3 bahasa; Indonesia, Inggris, Jerman, setebal 1230 halaman, 2011), Antologi Puisi Religi “Kosong = Ada” (2012), Ensiklopedi Gubernur Jakarta: dari Masa ke Masa (2012), Buku cerita anak-anak “Hantu Siul dan 14 Cerita Keren Lainnya” (2014), Memo untuk Presiden (2014), Puisi Menolak Korupsi 4: Ensiklopegila Koruptor (2015), Antologi Puisi ‘Syair Persahabatan Dua Bangsa’ 100 Penyair Indonesia-Malaysia (2015), Membaca Kartini: Memaknai Emansipasi dan Kesetaraan Gender (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Ziarah Sunyi (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Buku Antologi Puisi Kemanusiaan dan Anti Kekerasan “Jejak Air Mata: Dari Sittwe ke Kuala Langsa” (2017), Kumpulan Puisi Wartawan Indonesia “Pesona Ranah Bundo” (2018) memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2018, Dari Negeri Poci 9: Pesisiran.(2019), Merenda Kata, Mendulang Makna; Proses Kreatif Sastrawan Jawa Tengah (2019), Pandemi Puisi (2020), Peradaban Baru Corona: 99 Puisi Wartawan-Penyair Indonesia (2020). Dari Negeri Poci 10: Rantau (2020), Kartini Menurut Saya (2021), Corona Pasti Berlalu; Mencatat Covid-19: Tragedi, dan Harapan Setelah Itu (2021), Antologi Puisi 114 Penyair Indonesia “Kebaya Bordir untuk Umayah” (2021), Dari Negeri Poci 11: Khatulistiwa (2021), Antologi Puisi 115 Penyair Indonesia “Seribu Tahun Lagi” (2021), Antologi Puisi Penyair Nusantara “Jakarta dan Betawi” (2021), Puisi Menolak Korupsi 8; “Korupsi di Korona” (94 Penyair Indonesia) (2021), Para Penyintas Makna (2021), Lima Titik Nol; Masyarakat Cerdas dalam Puisi (2022).

Catatan tentang kesastrawanannya masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2001), Buku Pintar Sastra Indonesia (2001), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Gerbong Sastrawan Tegal (2010), Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), dll.

Akhmad Sekhu masih bolak-balik Jakarta-Tegal PP demi istri Wanti Asmariyani dan dua anaknya, Fahri Puitisandi Arsyi, dan Gibran Noveliandra Syahbana, dengan mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk Insya Allah selalu berkarya. 

Berikut ini, puisi-puisi karya Akhmad Sekhu:

1. Sajak Selebritas

Inilah dia yang selalu bergaya di depan kamera

Sedikit terbuka yang orang suka di antara debat hujat 

dan gegap puja dengan persepsi liar menelanjangi

Yang akan selalu menjurus ke arah kontroversi 

Seperti tidak ada cap lain, selain hanya penuh sensasi 

Padahal dia hanya sekedar jalani profesi secara profesional

Serta tanggung jawab sesuai dengan perjanjian kontrak

Sama seperti pekerjaan-pekerjaan lain untuk mengganjal perut

Meski yang dilakukannya bersentuhan dengan perasaan 

Betapa dia tetap berprinsip memegang konsekuensi 

Inilah dia yang sudah pasrah apa adanya dengan dada terbelah

Penghayatan total sebuah peran di antara decak kagum 

Dan desah mesum dengan fantasi tinggi mengembara

Yang selalu tepat menuju ke arah bernama nafsu syahwat

Seperti tidak ada kata lain, selain hanya sungguh seksi 

Menteng, Jakarta Pusat, 2020

2. Paradoks Peran  

Kau melakukan serangkaian adegan

Yang sebenarnya itu bukan dirimu.

“Ini demi peran, “ bisikmu pelan

Begitu tenang tapi pasti kau lucuti

Keraguan seperti tanggalkan pakaian

Banyak penggemar bergetar menunggumu 

Dengan sangat sabar di balik gemerlap layar

Perasaan tak karuan, betapa mereka benar-benar 

Ingin tahu lika-liku hidupmu. Juga lekak-lekuk 

Tubuhmu, bahkan keseluruhan dirimu utuh 

Sutradara tampak hanya tahu sebatas adegan 

Karena hanya ingin shooting cepat diselesaikan 

Sedangkan wajah produser selalu saja was-was

Kalau jalannya shooting tak sesuai dengan jadwal

Deretan angka rupiah akan semakin membengkak

Lawan main sebenarnya sangat grogi menghadapimu 

Diam-diam berharap dapatkan cintamu di lokasi shooting

Tapi ada yang begitu sangat dekat dengan dirimu

Dalam keutuhan dirimu penuh, lahir maupun batin

Hati nuranimu sendiri yang sangat setia menjagamu

Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2020

3. Di Balik Cahaya Gemerlapan

Di balik cahaya gemerlapan, aku culik puisi yang tercipta

Dari eling waspada karena hidup memang bukan sekedar 

Kumpulan adegan. Dimana kesedihan harus sepenuhnya 

Ditenggelamkan dan tak boleh menampakkan kesedihan

Karena depan kamera harus selalu bahagia penuh suka-cita

Demi tuntutan karakter sebuah peran yang harus dilakoni

Harus bisa menghibur sebagai tontonan menyegarkan

Kerja maksimal profesional dengan penghayatan total

Dengan penghayatan sangat mendalam, kita masih tetap

Mendapatkan berbagai kenyataan yang hanya di permukaan

Karena hidup memang bukan sekedar panggung sandiwara

Yang alur ceritanya penuh dengan konflik intrik-intrik

Berbagai problem kehidupan dilematis yang dramatis

Di balik cahaya gemerlapan, aku angkat puisi yang tersisih 

Dari pesta pora hiruk-pikuk karena hidup memang bukan sekedar 

Keramaian semata. Justru kesunyian yang membuat kita jadi bijak 

Merenungkan semua peristiwa yang selalu membawa hikmah

Menjadikan kesadaran dalam renungan kehidupan kita mendalam

Sejatinya karya kita dapat menyiratkan hakekat kemanusiaan 

Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2020

akhmad sekhu
akhmad sekhu
wartawan hiburan yang penyair
wartawan hiburan yang penyair
- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -