
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai telah mendelegitimasi perjanjian bisnis antarperusahaan dengan memperkarakan Mardani H. Maming dalam dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Dalam jawaban tertulisnya atas permohonan praperadilan yang diajukan Mardani Maming di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, KPK menganggap perjanjian bisnis empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming sebagai pintu masuk suap kepada eks Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018 itu.
“Padahal, transaksi bisnis antara empat perusahaan itu dengan PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) adalah murni bisnis,” kata anggota tim kuasa hukum Mardani Maming dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Abdul Qadir bin Aqil, di Jakarta, Sabtu 23 Juli 2022.
Abdul Qodir menjelaskan, KPK bahkan mengklaim pendirian keempat perusahaan tersebut difasilitasi dan dibiayai oleh PT PCN. Menurut KPK, semua itu dilakukan oleh PT PCN sebagai gratifikasi karena Mardani Maming telah melimpahkan IUP kepada PT PCN.
Padahal, menurut Abdul Qodir, fakta hukum menunjukkan bahwa dua dari empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming itu berdiri sebelum PT PCN mendapatkan pelimpahan IUP pada 16 Mei 2011. PT Angsana Terminal Utama (PT ATU) berdiri pada 21 Februari 2011 dan PT Batulicin Enam Sembilan (PT BES) pada 18 Maret 2003. Dua perusahaan lainnya, yakni PT Trans Surya Perkasa (PT TSP) dan PT Permata Abadi Raya (PT PAR) masing-masing berdiri pada 2014 dan 2015.
“PT PCN bahkan baru masuk sebagai investor di PT ATU, yang mengelola pelabuhan batu bara, pada April 2012,” kata Abdul Qodir.
Menurut Abdul Qodir, dalam jawabannya, KPK sebenarnya mengakui ada perjanjian formal di antara keempat perusahaan itu dengan PT PCN. Bahkan, setiapkali memerinci transaksi keuangan antarperusahaan dimaksud, KPK menyebut semua didasarkan pada perjanjian antarperusahaan.
Meskipun demikian, KPK berkukuh perjanjian kerja sama formal itu cuma bungkus untuk menampung aliran uang suap yang diberikan oleh Almarhum Henry Soetio sebagai Direktur PT PCN kepada Mardani Maming. Dari transaksi bisnis di antara empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming dengan PT PCN, KPK mencatat total uang lebih daripada 104 miliar rupiah.
Dari semua catatan transfer yang diperoleh KPK, tak ada satu pun catatan yang menunjukkan nama Mardani Maming sebagai penerima. “Jadi, seluruhnya memang transaksi antarperusahaan, business to business,” kata Abdul Qodir. “Oleh karena itu, bagi kami, ini upaya mendelegitimasi perjanjian bisnis.”
Pendapat kuasa hukum Mardani Maming diperkuat dengan keterangan ahli Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, Teddy Anggoro, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 21 Juli 2022. Teddy mengatakan, dengan adanya perjanjian yang dibuat antarperusahaan, maka urusan tersebut masuk ke dalam wilayah perdata.
Ahli perbankan yang dihadirkan KPK ke persidangan pada Jumat, 22 Juli 2022, Yunus Husein, menyampaikan bahwa perusahaan yang dijadikan sarana untuk menyimpan uang hasil kejahatan biasanya memiliki ciri-ciri seperti melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar ke rekening individu-individu yang berbeda dan tidak memiliki underlying (kegiatan yang mendasari ) transaksi yang jelas. Yunus mencontohkan kasus korupsi proyek Hambalang, dimana terpidana anggota DPR Muhammad Nazaruddin mendirikan puluhan perusahaan dan kerap melakukan transaksi secara tunai dalam jumlah besar.
Anggota tim kuasa hukum lainnya, Denny Indrayana, mengatakan keterangan ahli dari KPK, Yunus Husein, justru memperkuat argumen mereka bahwa perkara Mardani Maming murni bisnis semata. Itu karena transaksi keempat perusahaan tersebut didasarkan atas underlying transaksi yang jelas (bisnis pengelolaan pelabuhan batu bara), perjanjian formal, dan menggunakan rekening perusahaan.
“Nanti akan kami buktikan bahwa ini memang transaksi bisnis karena dicatat, tidak dalam bentuk tunai, dan jelas siapa yang menerimanya,” kata bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.