
Sejak lama, Nusa Tenggara Timur punya impian agar alat musik dari tanah mereka, Sasando, bisa mendapat pengakuan dari UNESCO bahwa Sasando sebagai warisan budaya asal Indonesia.
Sasando sendiri adalah alat musik unik yang berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Sasando memiliki dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Bentuknya unik lantaran ditaruh dalam wadah terbuat dari anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando. Dalam perkembangannnya Sasando dibuat pula secara elektronik.
Upaya mendapat pengakuan UNESCO atas Sasando telah dirintis sejak beberapa tahun lalu.
“Di jaman Pak Sapta Niswandar bertugas di Kementerian Pariwisata, saya sempat diajak untuk mempromosikan Sasando sampai ke New York, Austalia bahkan Afrika,” ungkap Ivan Nestorman, penyanyi dan musisi asal NTT dalam acara live Instagram Cakap Cakap bersama pengamat musik Bens Leo, pada 11 May 2012.
Dalam acara wawancara yang didukung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut, Ivan sekaligus menitip pesan khusus untuk Mas Menteri Sandiaga Salahuddin Uno.
“Saya harap, Mas Sandiaga sebagai Menteri baru, bisa mengangkat kembali Sasando. Ini penting, karena alat musik dawai ini merupakan harta berharga milik Indonesia, yang wajib terus dilestarikan, sekaligus juga diperkenalkan dan dikembangkan ke generasi muda,” ungkap Ivan.
Menurut Ivan, sebagai sebuah alat musik berdawai yang unik dan langka, karena diselubungi daun lontar, Sasando punya kemiripan dengan alat musik Valiha dari Madagaskar, Afrika Timur.
“Saya tidak tahu secara persis apakah jaman dulu, orang kita yang membawa Sasando ke Madagaskar. Atau sebaliknya, orang sana yang datang ke mari dan membawa alat music ini ke negeri mereka!” ucap Ivan yang pada saat wawancara didampingi Yunilia Edon, musisi Sasando perempuan, sekaligus cucu dari penemu Sasando Elektronik, mendiang Arnoldus Edon.
Berkembang di Kandang Sendiri.
Yunilia atau Lia Edon menyebut, perkembangan Sasando di NTT sesungguhnya sudah cukup baik. Ia menyebut pada tahun 2018-2019, Kemedikbud pernah membuat program Belajar Bersama Maestro Sasando.
“Sebelum Pandemi Covid 19 merebak, para maestro datang ke sekolah sekolah di Kupang untuk mengajarkan Sasando. Tapi kemudian program terhenti, salah satunya karena masalah kurangnya dana!’ ungkap perempuan berputeri satu, yang sempat menjadi Juara II Festival Musik Sasando, pada Januari 2009.
Menurut pengamatan Lia, tenaga pengajar Sasando di Indonesia Timur bisa dibilang telah cukup. “Tetapi mungkin perlu terus menerus diadakan regenerasi. Ini juga pesan khusus untuk Menteri Pendidikan,” ucap puteri dari Caro David Habel Edon, yang sempat menjadi jurnalis dan News Anchor pada sejumlah TV swasta tersebut.
Sementara itu, Ivan menyebut untuk mendapat pengakuan UNESCO atas Sasando, memang dibutuhkan upaya ekstra sangat keras. “Salah satunya Sasando ini harus hidup di luar habitannya. Kalau Sasando ramai dimainkan di luar NTT, misalnya di Batak, di Yogjakarta dan daerah lain, UNESCO baru bisa mendaftarakan ini sebagai salah satu budaya yang wajib dilestarikan. Ini harus jadi tugas kita bersama. Bukan hanya di satu kementerian, melainkan di lintas Kementerian,” ucap Ivan
Bermartabat dengan Musik Lokal
Sasando dan juga musik-musik tradisi, menurut Ivan masih menjadi primadona yang akan mengangkat Indonesia di mata dunia.
Ivan yang sekarang ini bertugas sebagai mentor musisi khusus wisata Premium di Labuan Bajo dan Flores, menyebut ia bersama Kemenprakraf terus mencari pemusik lokal, dan mencoba menggali musik tradisi.
“Supaya ada suguhan kesenian orisinal ketika orang datang ke Laboan Bajo. Jadi bukan hanya infrastukturnya saja yang dibangun, tapi juga menghadirkan kesenian orisinil, jadi kami membuat inkubasi. Sekarang kami punya komunitas yang terdiri dari maestro maestro lokal. Mereka siap tampil menghibur turis yang datang!” ujar vokalis kelompok band Nera bersama Gilang Ramadhan, Krisna Prameswara dan Adi Dharmawan.