Dari Diskusi IKJ : Penonton Film Merosot di saat Produksi Naik?

- Advertisement -
- Advertisement -

Dari tahun ke tahun, dunia perfilman Indonesia masih menghadapi persoalan sama. Yakni, merosotnya jumlah penonton, padahal dilihat jumlah film menunjukan angka produksi yang  meningkat.

Untuk menanggapi persoalan digelar diskusi bertajuk  dengan nada menggugat,  “Produksi Film Naik, Penonton Film Turun. Kenapa?” Acara tersebut digelar  di Ruang Sjuman, IKJ, Cikini pada Jumat (26/6/2015) dan dirancang bertepatan merayakan ulang tahun ke-50 IKJ.

Sejumlah narasumber duduk   sebagai panelis. Mereka dari Badan Perfilm Indonesia (Kemala Atmojo), unsur Produser  (Ody M Hidayat Maxima International),   Direktur Jaringan Bioskop,  Tri Rudi Anitio, dan  Dosen IKJ Marselli Sumarmo. Sementara yang hadir datang dari kalangan pelaku perfilman, wartawan, mahasiswa juga pencinta film Indonesia

Menurut Marcelli Sumarmo, untuk menjawab pertanyaan penting itu, banyak hal yang harus dibedah. “Pertama, apakah bioskop bisa melayani semua kalangan dan mencapai pelosok? Apakah film menimbulkan ruang imajinasi? Apakah ada tafsiran baru terhadap realitas? Apakah pembuat film mengenal penonton kita?

Marceli kemudian memaparkan pendapatnya. “Orang film  harus pandai pandai membuat orang datang untuk menonton. Imajinasi menolong kita untuk mengenal hidup dan memecahkan masalah kehidupan. Seorang pembuat film bisa melakukan interpretasi akan suatu hal.”

“Contohnya Hollywood, mereka pintar, masalah tidak diselesaikan tapi disodorkan kepada penonton. Tafsir lahir dari budaya. Zaman bergerak dan kebudayaan juga, asal kita bisa menarik tafsir yang tepat,” kata Marceli.

Sementara itu, Perwakilan BPI, Kemala Atmojo melihat permasalah ini lantaran terpengaruh dari kesalahan regulasi dan regulator yang mandek. “Di luar itu produksi film nasional juga banyak yang tak digarap serius!” katanya Kemala lugas.

“Film itu yang penting kualitas, karena orang nonton itu pakai uang tambahan. Film adalah alternatif tontonan. Omong kosong kalau ada film bagus enggak ada penontonnya,” kata Kemala.
Menurut Kemala, sampai saat ini baru 30 persen film Indonesia yang bagus. Sisanya masih minim.

“Sebagian memang sudah ada yang bagus, tapi persentasinya masih banyak yang nggak bagus. Ya 70 persen jelek, 30 persen bagus,” bebernya.

- Advertisement -

Lebih lanjut Kemala menyebut, “Film kita nggak laku di luar negeri, sama seperti kita memandang rendah film Malaysia, maka orang Malaysia pun memandang rendah film kita,”

Kemala mengaku sudah melakukan berbagai usaha agar film Indonesia dikenal di mancanegara. “Tentu kita punya program-program. Misalnya riset penonton, memfasilitasi pembuatan film bermutu, membuat festival, mengikutkan film bermutu ke festival internasional. Tetapi kembali lagi, kita kembali lagi kepada penonton,” katanya.

Sementara Ody M Hidayat memaparkan  produksi cara baru film yang bisa langsung menggaet penonton. “Yakni, angkat cerita  dari novel  laris. karena novel sudah memiliki pembaca tersendiri. Kami harus ikuti itu.  Jadikan target penontonnya  tepat. Saya sekarang ingin coba tembus market Malaysia dan Singapura karena keuntungan di Indonesia tidak bisa diharapkan lagi,” kata Ody.

Untuk itu pula Ody berani membeli membeli novel yang akan diadaptasi film dengan harga sangat tinggi. “Kami membeli right memfimkan novel laris ‘Bulan Terbelah di Langit Amerika’ karya Hanum-Rangga dengan harga tertinggi, Rp 1,5 Milyar!”

Sedangkan Direktur Jaringan Bioskop Tri Rudi Anitio membantah adanya dugaan diskriminasi terhadap produser nama baru, dengan jalan membatasi dan menentukan waktu pemutaran film yang berbeda dibanding produser  yang sudah punya nama.

Bantahan ini dikeluarkan setelah Gandhi Fernando, produser dari Renee Pictures  yang hadir dalam diskusi itu mempertanyakan, mengapa perlakuan terhadap jadwal tayang filmnya berbeda dengan yang diberikan untuk produser lain.  “Saya setahun sejak mendaftar baru dapat jadwal, sementara ada film lain, yang belum jadi saja sudah dapat slot, “kata Gandhi.

Tri Rudi Anitio menyarankan, “untuk mendapatkan jadwal tayang, ada mekanisme yang harus diikuti produser.  Film harus didaftarkan dengan synopsis dan trailer serta pengajuan jadwal tayang.  Sejak April 2015, kami sudah bisa tentukan jadwal, saat kami terima trailer dari pemilik film. Mekanisme untuk jadwal tayang diserahkan ke produser, bukan ke bioskop,” kata Anintio lagi.

Diskusi yang  tetap meninggalkan pertanyaan besar tanpa jawaban kongkrit ini, sama sekali tidak membahas kemungkinan adanya penurunan jumlah penonton lantaran budaya  dan kebiasaan  orang muda sudah berubah.

Seorang penonton muda  pencinta film Indonesia yang hadir  dalam diskusi ini dengan jujur mengaku “Sekarang download film apapun mudah. Jika download gratis dengan kualitas  prima mudah didapat, ngapain  juga nonton harus ke biosko dan membayar?” katanya   dengan santai  XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dudut Suhendra Putra

Baca Juga :  5 Tahun Forwan Melangkah, Ada Buku, Ada Kartu Anggota Sakti

More Pictures :

Kedua kiri Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo memberikan pemaparan dalam acara diskusi bertajuk “Produksi Film Naik, Penonton Film Turun. Kenapa?” di Ruang Sjuman, IKJ, Cikini, Jakarta Pusat Jumat (26/6/2015). XPOSEINDONESIA/Dudut Suhendra Putra.
Eksibitor film XXI Cineplex, Rudi Anitio (kanan) memberikan pemaparan dalam acara diskusi bertajuk “Produksi Film Naik, Penonton Film Turun. Kenapa?” di Ruang Sjuman, IKJ, Cikini, Jakarta Pusat Jumat (26/6/2015). XPOSEINDONESIA/Dudut Suhendra Putra
- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -