Komunitas Iket Bandung Raya (Kibaraya), memperkenalkan kembali tata cara penggunaan iket kepada masyarakat, terutama anak muda untuk menjaga kelestarian iket kepala di Jawa Barat. Igoi dari komunitas itu memerlihatkan teknik menggunakan iket Barangbang Semplak, Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/4/2014).
Pada zaman dahulu iket atau totopong mencerminkan kelas dalam masyarakat, hingga tampak jelas perbedaan kedudukan seseorang (pria) dalam kehidupan sehari-hari.
Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari, ataupun ada perhelaan resmi seperti upacara dan musyawarah adat. Iket dianggap tepat sebagai benda yang dapat melindungi kepala saat melakukan aktivitas, sekaligus menjadi atribut sosial.
Bentuknya yang beragam diciptakan sebagai simbol yang berkaitan dengan keagamaan, upacara adat, dan status sosial tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai peranan dalam suatu kelembagaan. Iket Sunda bukan hanya sekedar kain yang digunakan di kepala. Makna iket jauh lebih besar dari hanya sekedar pelindung atau menandakan status sosial.
Iket dibentuk dari kain berbentuk bujur sangkar yang memiliki empat sudut. Keempat sudut itu memiliki makna sebagai sudut kereteg hatƩ (kereteg = perasaan atau suara yang timbul dengan sendirinya, hatƩ = hati. kereteg hatƩ diartikan sebagai niat), ucapan (lisan), tingkah (sikap), dan raga (badan) yang kemudian kain itu dilipat dua membentuk segitiga sama kaki dengan tiga sudut. Ketiga sudut tersebut mencerminkan tiga azas tritunggal kesetaraan dalam hidup kemasyarakatan yakni tritangtu yang terdiri dari resi pemimpin agama, rama (pemimpin rakyat) dan perebu (pemimpin wilayah).
Rupa-rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, ada iket buhun (kuno) dan iket kiwari (sekarang). Untuk iket buhun merupakan iket yang telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur. Sementara itu iket kiwari merupakan modifikasi iket dari orang ā orang yang memiliki rasa kebanggaan terhadap budaya iket buhun.